Friday 29 August 2008

Review: Ways To Live Forever - Sally Nicholls


Kematian bukan topik yang menyenangkan untuk didiskusikan. Dan bukan pula hal yang mudah untuk dibahas. Berangkat dari maknanya yang menyingung banyak hal, semua tergantung dari kacamata apa yang digunakan untuk menilainya. Sehingga tak aneh jika banyak persepsi yang berbeda beda dan berkembang serta menjadi pegangan hidup. Walaupun berbeda semua merujuk pada satu hal yaitu bahwa kematian adalah hal yang mutlak terjadi untuk setiap makhluk hidup.

Walau menjadi suatu yang mutlak, tetap saja kematian mengandung beribu misteri masih menyelubunginya. Sehingga tidak heran jika Sam, seorang anak laki laki yang mengidap Leukimia menjadi penasaran dibuatnya. Beberapa pertanyaan pun ditulisnya dalam sebuah jurnal harian. Melalui internet ia mencoba mengumpulkan fakta –fakta seputar kematian.

Dengan bantuan Felix, anak laki – laki yang seakan punya ratusan ide gila, Sam mulai mengisi lembaran demi lembaran jurnalnya. Tak heran jika dalam beberapa lembar jurnal tersebut terdapat beberapa hal – hal aneh, seperti naik ekskalator turun dan turun ekskalator naik. Sehingga isi jurnal itu tak hanya seputar kematian. Dan terkadang jurnal itu juga berisi keseharian Sam bersama ayah, ibu dan adiknya Ella. tak ketinggalan beberapa hal yang ingin dilakukannya.

Berbeda dengan novel yang juga menyingung tentang kematian, buku ini memang terasa lebih ringan.Tak hanya dari alur cerita Sam yang mengalir, fakta- fakta yang ada di dalamnya juga menjadi menarik perhatian saya. Selain itu tulisan tangan Sam juga jadi hiasan yang manis.

Membaca jurnal Sam di minggu – minggu terakhirnya juga membuat emosi saya bercampur aduk. Kekonyolan – kekonyolan Felix sering membuat saya tersenyum simpul, namun dalam waktu singkat air mata saya pun meleleh. Saya memang tak sepenuhnya bisa merasakan perasaan Sam. Namun terlihat, jika punya pilihan, Sam ingin seperti anak – anak lainnya.

Saya juga banyak belajar dan membuat saya menjadi sedikit jengah. Tulisan Sam kembali mengingatkan saya untuk semua list – list mimpi yang belum sepenuhnya saya capai. Sam yang sakit saja punya tekad untuk mewujudkan semua hal yang ia inginkan. Bahkan ketika hal itu terlihat tidak mungkin. Selain itu Sam juga mengingatkan saya untuk lebih menghargai segala sesuatu dan tak lupa bersyukur.

Begitu sampai di halaman terakhir, tak hanya tersisa perasaan yang mengharu biru, tapi juga sempat terintas untuk mencoba hal yang dilakukan oleh Sam dengan Ekskalator, bahkan terbersit keinginan untuk menyusun beberapa list baru dan memberinya judul Something To Do Before I Die.

*hugs Sam*

4/5

Ways To Live Forever
Judul Indonesia: Setelah Aku Pergi
Penulis: Sally Nicholls
Penerjemah: Tanti Lesmana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Maret 2008
Tebal: 216 hlm

Thursday 28 August 2008

A Father’s Affair


A Father’s Affair
Judul Indonesia: Anakkukah Kau, Anakku?
Penulis: Karel Glastra Van Loon
Penerjemah: Jugiarie Soegiarto
Penerbit: PT Serambi Ilmu Utama
Cetakan: I, April 2006
Tebal: 366 hlm

Dari judul indonesia yang terdapat di sampul depan, saya langsung tersenyum simpul. Anakkukah Kau, Anakku? Pertanyaan yang sungguh absurb. Namun bukan hal yang mustahil dikemukakan oleh seseorang. Bermacam dugaan timbul dari pertanyaan tersebut. Tentunya semua hanya bisa terjawab ketika melahap habis buku ini hingga halaman terakhir.

Adalah Armin, seorang pria yang yang hidup bersama anaknya Bo.Istrinya, Monika, telah lama meninggal. Saat itu Bo masih berusia 3 tahun. Walau sempat terpuruk karen kehilangan wanita yang sangat dicintainya, Armin tahu bahwa ia harus terus melanjutkan hidup. Setidaknya untuk Bo, anak yang kini berusia 13 tahun.

Bertahun – tahun setelah kepergian Monika, kehidupan Armin besama Bo dilengkapi dengan kehadiran Ellen, sahabat Monika sekaligus kekasih baru Armin. Hari – hari bahagia pun akhirnya kembali. Sampai kunjungan Armin dan Ellen ke dokter yang menyatakan bahwa Armin mandul. Tak perlu bertanya bagamaina perasaan Armin saat mengetahui kenyataan itu. Karena bukan hanya tak dapat mewujudkan mimpinya bersama Ellen untuk memiliki anak, namun juga karena ia kini tahu bahwa ia bukanlah ayah dari Bo, anak laki –laki yang sangat disayanginya. Yang tak kalah menyakitkan adalah pengkhianatan Monika.

Rasa terpukul yang dirasakan Armin juga menyeretnya pada rasa ingin tahu siapakah sebenarnya ayah biologis Bo. Bukan hal yang mudah. Tidak hanya karena tidak mungkin bertanya pada Monika sebagai satu – satunya kunci dari beribu pertanyaannya dibenaknya dan tak ada cara lain kecuali menulusuri masa lalu yang penuh liku.

Kali ini judul yang aneh ternyata mengiring saya pada cerita yang aneh pula. Bahkan akhirnya membuat saya benci dengan setiap tokoh di dalamnya. di dunia mereka, kata cinta seperti tak berarti. Ikatan pernikahan tak menghalangi mereka untuk memulai hubungan dengan pria ataupun wanita lain. Bahkan semuanya terjadi dengan begitu mudahnya. Atau mungkin memang seperti itulah gambaran yang terjadi di luar sana? Entahlah.

Yang jelas keanehan ternyata tak berhenti. Dari lembaran terakhir, buku ini ternyata mendapat beberapa penghargan. Salah satunya adalah The Generale Bank Literature Prize. Bahkan buku ini telah di terjemahkan dalam 31 bahasa termasuk bahasa indonesia dan dijual di 35 negara. Tak heran jika akhirnya buku ini di film di tahun 2003. Sayangnya tak ada berita lebih lanjut apakah film adaptasi tersebut mengikuti kesuksesan bukunya.

Review: Soul Eater - Michelle Paver




Setelah melewati petualangan yang nayris merenggutnya nyawanya di wilayah kekuasaan Klan Anjing Laut, Torak dan Serigala kembali ke Klan Gagak dengan banyak hal baru. Mengetahui kebenaran memang terkadang seperti menelan pil pahit. Awalnya tak mudah bagi Torak untuk mempercayai semua hal yang dibenarkan oleh Fin- Keddin, pemimpin Klan Gagak, namun ia akhirnya sadar bawa tak mungkin menghindar. Garis nasibnya telah ditentukan. Walau hal itu berarti berhadapan dengan sekumpulan Pemangsa Arwah.

Tak seorang pun menduga bahwa pertemuan torak dengan Pemangsa Arwah akan secepat itu. Suatu hari di musim dingin, saat berburu rusa, Torak dan Ren sadar bahwa Serigala menghilang. Jejak serigala menghilang begitu saja. Usaha memanggil serigala pun tak membuahkan hasil karena tak sekalipun Serigala membalas lolongan Torak. Tak butuh waktu lama untuk tahu bahwa serigala telah diculik. Apalagi ketika bertemu dengan Pejalan, pria aneh dan sedikit gila.

Perjalanan mencari Serigala ternyata tak mudah. Mereka mengejar hingga ke Utara Jauh, daerah di mana salju tidak pernah mencair. Seakan tak peduli akan dingin yang menggigit dan bahaya lain yang mengintai, Torak meneruskan perjalanan untuk menyelamatkan saudara sekawannya. Bahkan ketika semua itu ditentang oleh Ren yang mengusulkan untuk kembali ke Klan Gagak dan meminta bantuan. Karena Bukan hanya masalah geografis namun yang akan di hadapai mereka berdua adalah kekuatan jahat yang dimiliki sekelompok orang yang menamai dirinya sebagai Pemangsa Arwah.

Petualangan kali ini benar-benar menegangkan. Tidak hanya karena Torak akhirnya berhadapan dengan para Pemangsa Arwah namun juga karena perjalanan Torak sungguh berbahaya. Yang tak kalah penting adalah banyak fakta baru tentang Pemangsa Arwah. Siapa saja dan seperti apa rupa mereka terungkap dalam buku ini.

Seperti dua buku sebelumnya, Michelle Paver selalu menyisipkan keterangan tambahan. Kali ini ia membahas segala sesuatu tentang Serigala. Karakter yang satu ini memang menjadi bagian yang tak terlepaskan dari petualangan Torak. Rasanya gemas setiap kai membaca mengenai tingkah lakunya. Apalagi saat ia sedang bercanda bersama Torak. Dari keterangan yang ditulis Michelle, sekarang Serigala jauh lebih dewasa.

Dari segi terjemahan sebenarnya tak ada masalah. Hanya saja akan sedikit janggal ketika mengetahui bahwa ada perubahan istilah. Kalau mengikuti serial ini dari buku pertama tentu akan sedikit merasa aneh ketika Pemakan Arwah berubah menjadi Pemangsa Arwah. Perubahan istilah seperti ini sebenarnya tak mengusik petualangan Torak namun akan lebih baik jika kekonsistenan tetap terjaga. Ini bukan pertama kali terjadi pada buku terjemahan terbitan Matahati. Untuk buku selanjutnya, Out Cast, saya jadi penasaran istilah mana yang akan digunakan nantinya.

Chronicles of Ancient Darkness: Soul Eater
Penulis: Michelle Paver
Penerjemah: Moh
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, Oktober 2007
Tebal: 356 hlm

Samurai; Jembatan Musim Gugur


Samurai; Jembatan Musim Gugur
Judul Asli: Autumn Bridge
Penulis: Takashi Matsuoka
Penerjemah: Ary Nilandari
Penerbit: Qanita
Cetakan: II, April 2005
Tebal: 852 hlm


Perjalanan panjang Genji, Bangsawan Agung Akaoka ternyata belum berakhir. Sekuel sekaligus prekuel klan Okumichi diceritakan dengan jelas di buku ini. Sehingga jangan kaget dengan alur yang dengan bebasnya melompat ke sana ke mari. Seakan akan membuat kita tersesat jika sekali saja memgedipkan mata. Itu yang terjadi pada saya saat kehilangan konsentrasi.

Sekuel
Lebih dari enam tahun belalu sejak tiga misionaris yang dilindungi Genji menapakkan kaki di Edo. Kini hanya Emily, satu dari tiga misionaris, yang tersisa. Dalam jangka waktu itu pula, Emily banyak belajar mengenai Klan Okumuchi. Perkamen – perkamen yang menjadi rahasia bertahun – tahun dan searusnya hanya boleh dibuka oleh keturunan klan Okumichi ini dengan bebas dibaca oleh Emily. Tentu saja dengan ijin Genji. Hal itu menjadi satu indikasi bahwa Emily tidak lagi menjadi orang asing di mata Genji. Terlebih lagi sejak kejadian di musim dingin beberapa tahun lalu.

Alur melompat kepuluhan tahun berikutnya. Ketika Genji mendapat tamu dari masa lalu dan akhirnya memutuskan untuk menjalani satu pertanda yang didapatkan dari kemampuannya melihat masa depan.

Terdapat perubahan dari sikap dan tingkah Genji dari tahun ke tahun. Walau tetap saja di mata beberapa orang gelar Samurai Sejati tidak dapat melekat pada dirinya.
Dari beberapa sisi terutama perasaan Genji juga terungkap.

Prekuel
Tak tanggung – tanggung, pembaca diajak ke kisah Klan Okumichi beberapa ratus tahun jauh sebelum Genji lahir. Dari sana, terungkap berbagai rahasia. Salah satunya mengenai kemampuan melihat masa depan yang menjadi warisan turun menurun

Adalah Lady Shizuka, wanita dengan kecantikan yang memukau dan keanggunan yang penuh dengan pesona, hadir di tengah – tengah klan Okumichi dan membawa bakat meramal itu dalam darah keturunannya. Ia juga disebut sebagai wanita yang memiliki sihir yang hebat. Karena tak hanya bisa mengetahui masa depan, masa lalu pun dengan mudah dijelajahinya. Sangat disayangkan ternyata kemampuan yang dimilikinya itu tak dapat digunakan untuk menyelematkan orang – oang yang disayanginya termasuk dirinya sendiri.

Tak hanya di Kastel Awan Burung Gereja, di Jembatan Musim Gugur, puluhan intrik membayangi kehidupan Klan Okumichi. Walau alur yang dengan mudahnya berpindah ke masa depan dan masa lalu memang sedikit merepotkan namun tak akan menyulitkan untuk memahami bagaimana cerita ini berawal dan berakhir. Bahkan ketika sudut pandang tokoh demi tokoh berganti dalam waktu singkat.

Yang menarik perhatian saya kali ini adalah kemampuan – kemampuan aneh yang tak dimiliki oleh orang awam. Dari kemampuan Lady Shizuka sampai kemampuan hebat seorang ninja.

Buku kedua ini memang menyenangkan. Karena beberapa pertanyaan yang akhirnya terjawab. Salah satunya adalah tentang samurai. Beberapa paragraf di dalam bab ini menjelaskan bagaimana secara singkat bagaimana tingkah seorang samurai. Yang menarik kisah mengenai kekuatan cinta yang ternyata ada dibalik kekuatan para samurai. Kekuatan yang tak kalah hebatnya hingga mampu memutarbalikkan segala sesuatu yang berada disekitarnya.

Sayangnya buku ini berakhir dengan banyak hal yang tidak begitu jelas. Beberapa hal masih diselubungi misteri.

Samurai : Kastel Awan Burung Gereja


Samurai : Kastel Awan Burung Gereja
Judul Asli: Cloud of Sparrows: An Epic Novel of Japan
Penulis: Takashi Matsuoka
Penerjemah: Esti Ayu Budihabsari
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, Januari 2005
Tebal: 820 hlm


Sekitar tahun 1861, masa transisi terjadi di pemerintahan Jepang. Tak sedikit perubahan yang terjadi. Salah satunya adalah adanya perjanjian dengan pemerintahan bangsa lain. Hal yang selama puluhan tahun tak pernah dilakukan. Perjanjian ini juga yang mempermudah bagi orang asing termasuk para misionaris untuk masuk dan menginjakkan kaki ke negeri matahari terbit ini, tanpa harus tunduk pada hukum yang berlaku di Jepang.

Kebijakan ini menimbulkan keresahan bagi beberapa pihak. Apalagi melihat sepak terjang para misionaris yang seakan dengan mudahnya membuat penduduk di beberapa bagian Jepang beralih dari agama yang bertahun – tahun mereka anut.

Dulu sewaktu Shogun Takugawa I, Ieyasu, memegang tampuk kekuasaan. Masalah yang ditimbulkan oleh para misioanaris dengan mudah diatasi. Dengan keras ia melarang semua individu untuk memeluk agama kristen. Bahkan dengan lantangnya mengusir para pendeta asing, menyalib puluhan ribu rakyat yang dicurigai telah berpindah agama. Sehingga dalam jangka waktu 200 tahun, agama kristen tak berhasil masuk ke Jepang.

Namun keadaan kini berubah. Para misionaris diperlakukan dengan lebih sopan. Bahkan seorang Genji Okumichi, Daimyo Akaoka, Bangsawan Agung pun memberikan perlindungan dan menjamin keselamatan pada tiga misionaris yang baru saja menapakkan kaki mereka ke Jepang.

Bagi orang – orang asli Jepang yang membenci para pendatang menjadi semakin gerah. Bukan suatu hal yang mengherankan jika Kepala Polisi Rahasia Shogun, Kawakami Eiichi membenci sikap yang terkesan sangat lemah Genji. Kawakami menganggap tindakan Genji sungguh keterlaluan. Rencana demi rencana pun disusunnya untuk menyingkirkan pria yang tidak pantas dianggap seorang samurai. Semua tercermin dari sikap Genji, yang terlihat sangat feminin, hanya mememntingkan kesenangan dunia, merusak citranya dengan wanita dan sake.

Bagi Genji sendiri, ia punya alasan kuat mengapa memutuskan untuk mengambil tindakan demikian. Semua bersumber dari ramalan. Ia tak perlu pendapat seseorang untuk mengetahui keakuratannya. Karena kemampuan mengetahui masa depan telah menjadi warisan turun temurun di keluarganya. Lihat saja Pamannya, Lord Shigeru, kakeknya, Lord Kiyori dan tentu saja para leluhurnya. Walau mengikuti ramalan yang bertujuan untuk menyelamatkan dirinya tidak berarti bahwa bahaya berhenti mengancam.


Buku yang menarik. setidaknya dari sisi sejarah pemerintahan Jepang yang dicampur dalam cerita fiksinya. Buku ini tidak hanya membuat saya semakin penasaran dengan pergantian demi pergantian yang terjadi pada sistem politik Jepang di masa lalu.

Puluhan artikel tentang Negeri Matahari Terbit ini telah saya download. Namun entah mengapa tidak satupun yang membuat saya mengerti tahapan pergantian yang terjadi hingga menjelma menjadi negeri Jepang yang modern seperti sekarang ini. Semua hanya berupa potongan – potongan yang saya kumpulkan dari beberapa novel, animasi ataupun film seperti The Last Samurai.

Saya juga jadi tertarik memahami bagaimana sosok seorang pria yang pantas disebut seorang samurai. Tentunya tidak dapat sepenuhnya melihat Genji sang tokoh utama yang disebut – sebut tidak memiliki ciri-ciri tersebut. yang jelas dari buku ini saya mengetahui bahwa kata kehormatan dan kesetiaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sikap mereka. Beberapa kawan mengatakan bahwa sosok itu bisa terlihat pada Miyamoto Musashi. Sayangnya Novel yang memuat kisah hidupnya tak kunjung hadir di rak buku saya.

Dibalik asyiknya menelusuri cerita Samurai ini, saya sedikit terganggu dengan bentuk dan desain buku. Tidak hanya menjadikan buku ini menjadi sangat tebal namun juga ketidaknyamanan saat memegangnya. Entah apakah karena seperti itulah bentuk aslinya ataukah Qanita membuatnya agar seragam dengan semua desain buku – buku yang telah diterbitkan sebelumnya.

Imperia


Imperia
Penulis: Akmal Nasery Basral
Penerbit: Akoer
Cetakan: I, Juni 2005
Tebal: 434 hal

Butuh waktu tiga tahun sampai akhirnya buku ini tiba di rak buku saya. Walau telah lama menuliskan judul buku ini dalam list to buy, buku ini tak kunjung mampir. Sampai suatu hari melalui kuis yang di gelar KUBUGIL saat merayakan ulang tahunnya yang pertama, kesempatan saya untuk mencicipi buku dan menjadikannya salah satu penghuni rak di rumah akhirnya kesampaian juga.

Menarik. itu kesimpulan yang saya tarik ketika membaca beberapa bab awal dan itu bukan keputusan yang terburu – buru. Tak hanya dari prolog yang memancing rasa penasaran, bahkan sampai pada epilog yang dibuat oleh sang penulis menjadi akhir cerita pun rasa penasaran itu seakan tidak pernah habis.

Buku ini memang sedikit berbeda, apalagi untuk buku yang tulis oleh penulis Indonesia. Karena , tidak seperti buku – buku yang lain, buku ini memiliki beberapa karakter kuat yang masing – masing memiliki sumbangsih untuk membuat buku ini lebih hidup. Bahkan mengajak semua pembacanya melihat dari beberapa sudut pandang yang berbeda. Dari Wikan, wanita yang baru saja menjejakkan kaki sebagai pemburu berita, Melanie Capricia, si penyanyi terkenal bahkan sampai Jenderal Pur, pria yang punya segalanya. Sehingga dengan mudah mengetahui alasan demi alasan yang melandasi terjadinya semua insiden yang terjadi dibuku ini.

Satu hal yang juga menjadi kekuatan buku ini adalah lengkapnya data dalam buku ini. Seperti buku yang lain, saya diajak bertualang. Perjalanan dimulai dari sebuah rapat redaksi sebuah majalah yang terlihat sangat seru. Dari bahasan politik sampai yang ringan sekalipun seperti berita selebriti. Hal ini mungkin mudah dituangkan oleh sang penulis yang saat menerbitkan bukunya masih berstatus sebagai wartawan majalah Tempo. Sehingga gambaran jelas seorang Wikan sebagai wartawan baru bisa saya tangkap dengan mudah. Membaca buku ini, pandangan saya tentang kehidupan seorang wartawan berubah. Kehidupan mereka ternyata jauh lebih hectic dari yang saya bayangkan sebelumnya.

Tak hanya wartawan, kehidupan seorang penyanyi sampai konflik plagiarisme para pencipta lagu pun ada di sini. Semua dituliskan dengan rinci. Bisa dibilang, pengamatan terhadap musik dan lagu sangat mendalam. Saya jadi benar-benar penasaran dengan semua lagu yang ada di dalam buku ini. Apalagi yang berkaitan dengan lagu – lagu milik grup band R.E.M.

Seakan ingin memberitahu kepada semua pembaca bahwa Akmal Nasery Basral benar- benar serius menuliskan novel perdananya, data tentang rasi bintang pun di tulis dengan lengkap.

Dari rasi bintang, perjalanan juga sempat singgah ke pembahasan ESP( Extra Sendory Perception). Sayangnya harapan saya pada kemampuan yang terdapat pada salah satu sang tokoh ternyata tak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Sehingga terasa ESP yang dicertiakan ini hanya sekedar bumbu tambahan yang tidak ada juga tidak akan merusak cerita.

Perjalanan terus berlanjut ke salah satu negeri Eropa. Di Kontanz, Jerman tepatnya. Dari mata Wikan, saya bisa tahu keindahan kota ini, merasakan dingin yang menggigit, ataupun merasakan asyiknya menggunakan kereta api tanpa harus berdesakan dengan ratusan orang seperti yang sering dialaminya di kereta api listrik Bogor-Jakarta. Arsitektur gedung – gedungnya juga tak kalah menarik. dan tentunya yang menjadi fokus adalah sebuah patung wanita yang sedikit seronok bernama Imperia, yang juga di pilih menjadi gambar yang menghiasi buku ini. Dari Wikipedia, gambar imperia terlihat lebih indah.

Yah, desain sampul menjadikan Patung Imperia tidak menjadi terlihat seindah aslinya. Apalagi pemilihan warna biru menjadikan sampul luar buku ini jauh dari menarik. Sangat disayangkan memang untuk sebuah buku yang memiliki cerita yang kuat di dalamnya. Tapi untuk seorang kutubuku, hal ini tentunya bukanlah halangan berarti untuk menyicipi setiap kalimat di dalamnya.

Born Blue


Born Blue
Judul Indonesia: Terlahir Sedih
Penulis: Han Nolan
Penerjemah: Mayra Karlina
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Cetakan: I, April 2006
Tebal: 378 hlm


Setiap orang memiliki alasan dibalik semua hal yang dilakukannya. Kalimat itulah yang menjadi pegangan saya sejak lama ketika berhadapan dengan orang – orang yang jauh berbeda terutama dari segi pemikiran. Walaupun kalimat itu tidak cukup ampun untuk membuat saya berhenti memberi cap baik dan buruk. Semua itu karena pemahaman yang saya pikir sudah mengakar begitu dalam. Semua itu kembali saya ungkapkan ketika membaca novel karya Han Nolan ini.

Di usia yang sangat belia, Janie harus tinggal terpisah dengan ibunya, Mama Linda. Saat itu ia masih terlalu kecil untuk mengerti mengapa ia tak seperti anak – anak lain yang hidup di rumah yang nyaman. Yang ia tahu hanyalah ia hanya akan bertemu Mama Linda satu ataupun dua kali tanpa pernah tahu kapan waktunya untuk meninggalkan rumah bau milik Patsy dan Pete. Beruntung ia memiliki Harmon, anak laki – laki yang bernasib sama dengannya.

Bersama Harmon, terkadang Janie tidak lagi mempermasalahkan ketidakhadiran Mama Linda ataupun kondisi rumah Patsy dan Pete yang bobrok serta tindakan keji yang harus diterimanya. Apalagi Harmon membiarkannya ikut mendengarkan suara- suara emas yang dimiliki oleh penyanyi – penyanyi perempuan dari kaset tua milik Harmon. Janie sungguh tergila – gila dengan semua lagu yang mereka nyanyikan.Bahkan jika ditanya apa yang berharga dalam hidup, kaset milik harmon akan disebutnya. Tak heran ketika akhirnya Jaine memutuskan untuk mengikuti jejak mereka. dengan suara yang tak kalah merdu, Jaine yakin bukan hal yang sulit untuk mewujudkan mimpinya

Namun bukan namanya hidup jika penuh dengan rintangan. Banyak hal yang tak jarang memberikan pukulan telak pada Jaine yang akhirnya memutuskan untuk mengubah namanya menjadi Leshaya. Dari kepindahan Harmon yang mendadak sampai peculikan di usianya yang sangat muda. Bahkan ketika satu demi satu peristiwa tragis datang menghampiri pun ternyata tidak mengurungkan niatnya untuk menjadi seorang penyanyi terkenal. Anak perempuan ini sungguh terobsesi.

Harapan saya memang terlalu tinggi pada tokoh utama ini. Tingkahnya yang sedikit liar dan pemberontak membuat saya menjadi gerah. image anak perempuan yang manis menghilang dalam waktu sedetik. Obsesinya menjadi seorang penyanyi benar – benar membuatnya buta. Segala cara pun ditempuhnya seakan – akan waktunya akan habis jika tidak segera melakukan hal – hal tersebut. padaal kalau saja ia mau bersabar, mungkin tak perlu sampai merugikan banyak orang termasuk dirinya sendiri.

Tokoh Leshaya membuat saya teringat dengan Alice di Go Ask Alice, anak perempuan yang tidak tingkahnya setali tiga uang dengan Leshaya. Seakan Alice adalah perwujudan Leshaya di kehidupan nyata. Beberapa hari kemudian saya kembali menemukan sosok lain Leshaya dalam sebuah film yang dibintangi oleh Leonardo Dicaprio, Basket Ball Diaries.

Baik Alice maupun anak laki-laki di Basket Ball Diaries , kedua sama-sama sempat terjatuh di dunia gelap dan kedua – dua sama – sama punya nilai buruk di mata saya. saya punya alasan kuat untuk itu. Mereka berdua bukan tak punya pilihan. Mereka hanya terlalu terburu-buru dalam menentukan jalan mana yang harus mereka ambil. Tidak perlu terkejut dengan kalimat saya diatas. Saya akui saya memang tidak sanggup untuk melepaskan sepatu yang saya kenakan sekarang dan menggantinya dengan yang mereka gunakan saat itu. Bukan hal yang mudah untuk dilakukan.

Walau tak menyukai cerita yang satu ini, setidaknya ada beberapa pelajaran dapat di petik dari buku ini. Bagaimana peran orang tua sangat penting dalam kehidupan seorang anak dan memegang pengaruh besar pada kehidupannya di masa depan. Dan untuk keseribukalinya dan tak pernah bosan untuk mengingat bahwa ganja, heroin dan obat – obatan sejenis hanyalah racun kehidupan. Yang tak kalah penting adalah pelajaran dalam mengejar mimpi. Pengorbanan memang mutlak dilakukan namun tidak berarti sampai membuat orang lain ikut menjadi korban. Apalagi sampai menghalalkan segala cara. Lepas dari semua tingkah Leshaya yang menjengkelkan itu, semangat dan tekatnya nya patut diacungi jempol. Seakan memberi tahu kepada semua orang yang sedang mengejar mimpi bahwa tak ada hal yang tak mungkin.

Thursday 14 August 2008

Ciao Italia; Catatan Petualangan Empat Musim




Jalan – jalan keluar negeri ataupun mengunjungi kotakota lain di Indonesia adalah satu dari sekian banyak mimpi yang saya tulis di jurnal sejak kecil. Bahkan saya telah menjadikan satu kota dan satu negera menjadi resolusi seumur hidup. Sayangnya sampai usia yang setahun lagi memasuki seperempat abad ini, Kesempatan dan kemampuan memang belum datang menghampiri. Jadi wajar saja kalau sampai umur segini saya hanya bisa menikmati cerita –cerita orang lain melalui artikel mereka di koran, buku, blog maupun TV. Walaupun tidak bisa melihat langsung, namun seakan ada rasa haus yang terpuaskan setelah melahap semua artikel dan tayangan tersebut. Sambil terus bertanya pada diri sendiri, kapan saya akan melakukan petualangan sendiri.
Ciao Italia; Catatan Petualangan Empat Musim, begitu judul buku yang ditulis Oleh Gama Harjono. Dari kata empat musim, saya mengambil kesimpulan bahwa Gama tidak menjadi turis. Sebenarnya saya bisa saja langsung melihat resensi yang ada di belakang buku ini. Namun tidak saya lakukan, semua kalimat – kalimat itu hanya akan menghancurkan petualangan baru saya.
Begitu membuka buku ini, saya langsung disuguhkan beberapa foto-foto berwarna. Dari banyak foto bangunan, hanya satu yang saya tahu, Colloseum. Malah Menara Pisa yang terkenal itu tidak tampak. Saya akui hanya dua bangunan itulah yang saya ketahui jika berbicara tentang Itali. Selebihnya pasti saya hubungkan dengan Pizza, Keju, Spaghetti, Gondola beserta sungai yang tidak jernih. (itu yang terlihat di tv dan di ceritakan di salah satu novel anak - anak). Tentunya tak lupa dengan Liga Itali yang dulu sempat membuat saya betah berjam – jam duduk di depan TV. Ternyata yang saya ketahui hanya sebagian kecil dari ribuan hal yang diceritakan Gama di bukunya.
Yang membuat saya tergelak adalah karena Lira tidak lagi disebut – sebut sebagai mata uang negara ini. Mata uang Euro telah menggantikannya. Padahal sebelumnya dengan bangga saya akan mengucapkan Lira ketika ditanya tentang Itali. Dari cerita Gama juga, saya baru tahu bahwa patung David yang terkenal dan sempat muncul di salah satu episode Sponge Bob ini ternyata ada di Italia. Ampun dah.
Kembali ke petualangan Gama, seakan tak ingin menyia-nyiakan satu detik pun, semua waktu luang digunakan untuk menjelajahi setiap sudut kota. Tak hanya bercerita tentang bangunan- bangunan bersejarah termasuk Museum Seni, Gama juga tak pernah lupa melampirkan semua biaya yang dikeluarkan untuk transportasi. Sehingga buku ini terkadang menjelma menjadi buku panduan. Dan alasan saya mampu melahap setiap lembaran di buku ini karena foto – foto yang turut mendukung cerita tentang keindahan kotakota di Itali. Saya jadi sedikit mengerti kenapa Gama sampai melakukan banyak pengorbanan hanya untuk bisa menetap di negara ini.
Dari semua kota, yang paling membekas adalah Naples. Dari cerita tentang segala jenis Coffee dan rasa pizza yang katanya enak banget . Dari tulisan Gama, saya bisa ngambil kesimpulan rasa pizza yang beredar di indonesia nggak ada apa-apanya. Tak hanya dari Coffee dan Pizza, yang mengejutkan ternyata gerbong Mafia ternyata bukan hanya ada di Godfather ataupun Man on Fire-nya Denzel Wasington. Di Naples, mereka masih beraksi. Jangan tanya berapa banyak korban yang berjatuhan. Nampaknya sampai saat ini pihak kepolisian juga tak mampu berbuat banyak.
Dari Naples, bagian yang menyenangkan adalah mengikuti kunjungan Gama ke perayaan – perayaan hari besar di Italia. Dari sana saya bisa tahu bagaimana gaya hidup orang italia yang sesungguhnya. Ada beberapa hal yang sama seperti yang terlihat di film. Tak kalah penting adalah sajian makanan – makanan khas yang tentu saja tidak hanya berupa Spaghetti dan Pizza. Yang mengejutkan, di beberapa lembar terakhir, ada sisipan resep.
Yang jelas tak ada habisnya kalau mau mengomentari satu demi satu hal yang dituliskan Gama dalam bukunya. Banyak hal yang saya pelajari dari buku ini.
Sayangnya di buku ini tidak ada peta yang menggambarkan semua perjalanan yang telah di tempuh Gama.Sehingga sekali lagi saya mengandalkan Wikipedia untuk mengetahui letak kotakota tersebut. Ironisnya, tak satupun nama Perugia, kota tempat tinggal Gama selama setahun belajar di itali, yang tertera di peta. Tak salah kalau Gama menuliskannya sebagai kota kecil.
Namun lepas dari hal di atas, buku ini tetap menarik untuk dilahap. Setidaknya bisa jadi panduan baik bagi orang – orang yang sebentar lagi akan melakukan perjalanan ke sana ataupun yang masih berjuang untuk mewujudkan mimpi jalan – jalan ke negara lain. Memang tak salah kalau ada pepatah yang mengatakan, “Di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan” karena semua kata itu terbukti di buku ini.

Ciao Italia; Catatan Petualangan Empat Musim
Penulis: Gama Harjono
Penerbit: GagasMedia
Cetakan: I, 2008
Tebal: 288 hlm


Monday 11 August 2008

Review: Spirit Walker - Michelle Paver





Petualangan Torak dimulai lagi. Setelah menunaikan semua janji pada Fa, ia masih harus berjuang untuk memecahkan misteri dibalik semua tragedi yang telah merenggut nyawa beberapa orang. Ia tahu bahwa Pemakan Arwah bertanggung jawab untuk masalah ini. sayangnya untuk mencari jejak mereka bukanlah hal yang gampang. Alih-alih menemukan mereka, nyawa Torka bahkan bisa terancam. Ia sendiri tak pernah tahu seberapa besar kekuatan kelompok itu. Yang jelas dengan kekuatan yang dimilikinya sekarang ia tahu tak mungkin menghadapinya seorang diri. beruntung Klan Gagak bersedia menampungnya. Setidaknya selama beberapa purnama setelah insident beruang jahat itu berlalu, Torak bisa merasa sedikit tenang. Ia bisa belajar beberapa hal baru.

Namun semua keadaan tiba – tiba berubah. suatu wabah penyakit menyerang seluruh klan di hutan. Tak terkecuali Klan Gagak. Korban mulai berjatuhan. Tak ada yang tahu apa penyebabnya. Para dukun pun tidak punya obat manjur untuk menyembuhkan mereka. Kematian demi kematian tak dapat dihindari.

Kecurigaan Torak tentu saja tak jauh – jauh dari para Pemakan Arwah. Karena menurutnya hanya mereka yang mampu melakukan hal – hal nista semacam ini. Akhirnya Torak pun memutuskan untuk mencari obat penawar dari penyakit misterius ini. Secara diam – diam ia meninggalkan Klan Gagak.

Tak mudah untuk melakukan pencarian. Walau akhirnya ia mendapatkan petunjuk. Obat yang dicarinya akan didapatkannya di laut, daerah kekuasaan beberapa Klan yang sangat misterius.

Dibandingkan dengan Wolf Brother, petualangan Torak di Spirit Walker jauh lebih menarik. Banyak hal – hal baru tentang Klan dan rahasia diri Torak yang terungkap di buku ini. Torak juga banyak belajar hal baru. Pengetahuan adalah Kekuatan, kata salah satu dukun yang menjadi cambuk buat Torak dan saya sebagai pembaca.

Kembali tentang kehidupan klan, ada satu yang membuat saya penasaran adalah pola makan mereka. Berburu adalah cara yang mereka tempuh untuk bertahan hidup. Buah-buahan yang tumbuh liar di hutan juga menjadi bagian yang melengkapi daging –daging yang dihidangkan. Beragam cara untuk memasak daging buruan . yang paling aneh adalah daging yang dikeringkan dan dapat disimpan selama berbulan – bulan. Kalau dibayangkan daging kering itu mungkin semacam dendeng. Tapi kalau sampai bertaan lama. saya ragukan kelezatannya. Yang menarik adalah cara mereka memperlakukan binatang buruan. Mungkin karena pengaruh kepercayaan mereka pada kekuatan roh. Ada ritual tertentu sebelum akhirnya menguliti dan memanfaatkan semua bagian.

Sayangnya tak ada lagi ilustrasi di setiap babnya. Entah karena di buku aslinya tak lagi mencantumkan ataukah sengaja dihilangkan oleh Penerbit Matahati. Tapi dari keterangan di halaman depan terdapat nama sang ilustrator. Yang tersisa hanyalah gambar peta saja.

Chronicles Ancient Darkness: Spirit Walker
Penulis: Michelle Paver
Penerjemah: Dhany Setiawan
Penerbit: Matahati
Cetakan: II, Januari 2007
Tebal: 376

Review: Wolf Brother- Michelle Paver



Hutan yang dipenuhi dengan ribuan pohon dan semak tentunya bukanlah tempat yang aman untuk ditinggali. Apalagi ditambah dengan keberadaan binatang – binatang liar dan buas. Tak akan pernah tahu kapan kita tersesat di dalam rimbunan pepohonan dan bertemu dengan salah satu dari mereka. Terlebih lagi jika hutan itu seperti yang dijelajahi oleh Torak. Lebih tepatnya lagi hutan yang menjadi tempat tinggalnya sejak kecil.

Sejak kecil ia tinggal bersama Fa, ayahnya. Bersama Fa, Torak tak pernah kekurangan satu apapun. Walau benar- benar hannya berdua di tengah pekatnya hutan. Tak ada yang perlu ditakuti selama ada Fa. Sampai suatu hari ada seekor beruang liar yang tiba – tiba saja menyerang merek berdua dan akhirnya membuat Fa tewas. Untungnya sebelum menjadi korban berikutnya, Torak berhasil melarikan diri.

Tak ada pilihan lain bagi anak laki-laki yang berusia tiga belas musim panas itu. Tak peduli bahwa kehidupannya dunia di hutan berubah menjadi begitu kejam dan mengerikan. Yang ia tahu hanyalah menjalankan janji yang diikrarkannya sebelum Fa menghembuskan nafas terakhir.

Petualangan mencari sesuatu yang tidak diketahuinya pun dimulai. Bahaya demi bahaya yang sanggup merenggut nyawanya telah menunggu. Ia pula harus berpacu bersama waktu sebelum Beruang yang konon di rasuki oleh setan menemukan dan membunuhnya.

Butuh waktu lebih dari setahun untuk mengetahui bahwa buku ini punya cerita yang menarik. Selain karena kecepatan membaca yang lambat saya juga dikaenakan saya tergoda dengan buku –buku yang lain. ^_^V Sehingga saya harus mengejar ketinggalan. Karena kisah Torak di Wolf Brother kembali berlanjut di Spirit Walker, Soul Eater dan Outcast. Bahkan di lembar pertama buku ini juga

Tidak seperti buku petualangan lain, Torak mengajak semua pembaca mundur ke tahun – tahun ketika manusia hidup berkelompok dan memilih untuk tinggal dihutan. Berburu menjadi satu –satunya cara bertahan hidup. Bau zaman prasejarah tercium dibagian ini.

Setiap kaln juga memiliki dukun. Mereka dipercaya punya kekuatan gaib dan dianggap bagian penting bahkan kepala suku pun menaruh kepercayaan pada apa yang mereka katakan. Walau begitu kepala suku tentu saja masih menjadi pemegang kekuasaan tertinggi.

Senjata ataupun perlengkapan mempertahankan diri, mereka buat dari macam – macam batuan dan tulang. Menjadi ciri kedua yang membuat saya teringat pelajaran Sejarah terutama yang membahas zaman prasejarah. Untung saja di lembar terakhir terdapat penjelasan bahwa torak serta tokoh – tokoh manusia berperawakan seperti manusia pada umumnya. Sehingga bayangan awal saya tentang manusia purba terpaksa harus disingkirkan sejauh – jauhnya

Walau telah berperawakan seperti manusia lainnya, namun tetap saja ada satu hal yang tak dapat lepas dari mereka. Kepercayaan bahwa setiap benda memiliki roh masih tetap bagian dari kehidupan setiap klan. Animisme, begitu yang tertulis di buku sejarah.

Yang mengagumkan adalah kemampuan mereka berkomunikasi dengan para binatang. Setidaknya itu yang dimiliki oleh Torak. Entah apakah itu hanya kemampuan khusus yang dimiliki oleh torak ataukah setiap klan memang memiliki orang –orang yang mengerti bahasa setiap hewan yang mereka jadikan bagian yang tak terpisahkan dari klan mereka.

Berbicara tentang karakter yang ada didalam buku ini, Torak bukanlah tokoh favorit saya. Walau tidak menempati tempat utama namun karakter yang saya sukai ini menjadi juga bagian yang tak kalah penting.

Dari segi alur, bab-bab awal dapat saya selesaikan dengan cepat. Sayangnya, dipertengahan saya nyaris merasa kebosanan. Namun begitu masuk ke bagian akhir, petualangan Torak menjadi menarik.

Seakan mengerti bahwa sebuah buku petualangan tak mungkin bisa sukses tanpa sisipan peta, Michelle Paver menyediakannya dengan lengkap di mana saja satu kejadian penting terjadi. Sayang diletakkan dibagian belakang. Saya yang telah terbiasa menengok peta di bagian depan sedikit kesusahan kali ini. Walaupun sebenarnya bisa saja melakukannya namun faktor kebiasaan tentu susah untuk dihilangkan.

Namun semua itu tak mengurangi nilai serunya bertualang bersama Torak walau tempat yang ia tuju penuh bahaya.

Chronicles of Ancient Darkness: Wolf Brother
Penulis: Michelle Paver
Ilustrator: Geoff Taylor
Penerjemah: Utti Susilawati
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, April 2006
Tebal:330 hlm

Monday 4 August 2008

Life’s Golden Ticket


Life’s Golden Ticket
Judul Indonesia: Tiket Emas Kehidupan
Penulis: Brendon Burchard
Penerjemah: Lanny Murtihardjana
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Juni 2008
Tebal: 320 hlm

Bagaimana seandainya Anda diberi tiket ajaib yang dapat membuat Anda menjalani hidup dari awal lagi? Apakah Anda akan mengulangnya kembali?

Kalimat di atas berada di halaman pertama ketika membuka buku dengan sampul yang tampil dengan warna mencolok ini. Otak saya langsung bereaksi dan sampai pada praduga bawa buku yang diberi tag Novel Dewasa ini sejenis dengan buku karangan Mitch Albom , Five People You Meet In Heaven ataupun One More Day.

Melangkah ke Prolog, praduga itu berubah menjadi keyakinan dan akhirnya menyisakan pertanyaan, Apakah buku ini akan membuat saya sesegukan seperti kedua buku di atas? Di akhir paragraf terdapat kalimat bijak yang tak asing
“ Akan tiba saatnya ketika Anda percaya semuanya sudah berakhir. Justru itulah permulaannya”. Walaupun sering diucapkan ole beberapa orang namun hingga kini saya tak kunjung saya mengerti maknanya.

Begitu menyelesaikan buku ini hingga ke halaman terakhir, saya baru sadar bahwa tak sekalipun nama pria yang menjadi tokoh utama di buku ini disebut. Kiddo, begitu akhirnya saya memanggilnya. Setidaknya dalam beberapa kali ia disebut seperti itu.

Cerita bermula dari Kiddo yang mengetahui bahwa tunangannya, Mary Higgins akhirnya ditemukan, setelah menghilang selama beberapa pekan. Sayangnya saat ditemukan kondisinya sangat parah dan menyebabkannya harus mendapat perawatan medis. Kiddo yang sampai akhir cerita ini tak juga disebut namanya merasa lega sekaligus cemas. Lega karena ia bisa keluar dari daftar tersangka sang detektif yang menganggapnya terlibat dalam kasus hilangnya Mary. Cemas, karena keadaan Mary sangat kritis.

Keajaiban akhirnya datang ketika Mary membuka mata. Ia menyuruh tunangannya mengambil amplop yang berada di jaketnya. Ia juga harus mengunjungi Bowman’s Park, taman hiburan di daerah pegunungan. Tempat itu telah lama ditutup karena seorang anak laki laki jatuh dari kincir angin. Anak laki – laki itu tak lain adalah saudara Mary. Walau merasa aneh, akhirnya Kiddo memutuskan untuk berangkat saat itu juga.

Sepi, suram dan mengerikan. Itulah suasana yang ditangkap oleh Kiddo saat memasuki Bowman’s Park. Hanya dalam beberapa menit mengitari tempat tersebut, Kiddo mendapat banyak hal yang membuatnya tersentak dan terkejut. Ia nyaris tak mempercayai apa yang dilihat dan didengarnya. Namun janji pada Mary tak memberi pilihan lain. Ia harus menyerahkan amplop tersebut pada seseorang yang berarti dalam hidup Mary. Walau itu berarti ia harus menjelajai wahana demi wahana.

Sepi, suram dan menakutkan?
Apakah ini buku horor? Jangan salah sangka dulu. Tak akan ada pertumpahan darah dalam buku ini. yang ada hanyalah uraian air mata. Seperti yang terjadi pada saat saya membaca setiap bab di buku ini. Banyak hal mengharukan didalamnya. Itu juga yang menjadi satu alasan mengapa saya mengaitkan buku ini dengan Five People You Meet In Heaven dan One More Day karya Mitch Albom. Tidak hanya dari setting tapi isi cerita. Tidak persis sama. tapi kalau ditarik benang merah, mereka saling terhubung

Tak hanya dari Setting, kata Golden Ticket atau Ticket Emas adalah kata yang tidak asing. Charlie and The Chocolate Factory, beberapa reality show ataupun adu bakat di TV juga menggunakan istilah ini. Walau masing – masing memiliki fungsi yang berbeda, namun isinya satu memberikan hak istimewa bagi setia pemegangnya. Seperti itulah yang terjadi pada Kiddo.

Membaca buku ini layaknya membaca sebuah buku motivasi atau pun seminar-seminar kepribadian yang pernah saya ikuti. Bedanya Brendon Burchard, sang penulis, mengemas dengan cerita yang menarik. Dari epilog maupun lembaran terakhir, tertulis bahwa Brendon Burchard mengalami kecelakaan hebat yang nyaris merenggut nyawanya yang sekaligus menjadi titik balik bagi kehidupannya. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk membantu orang lain dan tak butuh waktu lama untuk menjadi motivator. Dari www.lifesgoldenticket.com, website miliknya, ia tak hanya mempromosikan buku ini namun ia memiliki seminar-seminar yang terbuka untuk umum. Sekali lagi perasaan saya tidak salah.

Jadi bagi yang anti dengan buku-buku pembangkit semangat yang ditulis dengan gaya yang serius, mungkin buku ini bisa dijadikan pilihan.

Masih dari website yang sama, saya juga melihat sampul asli dari Life’s Golden Ticket yang setidaknya memberi gambaran tentang setting yang digunakan dalam buku. Sayangnya itu tidak terlihat dalam sampul versi bahasa indonesia. saya benar-benar tak menangkap apapun dari gambar itu. Nampaknya satu lagi pertanyaan yang timbul.

Sunday 3 August 2008

Tiga Sekawan Wright



Tiga Sekawan Wright
Judul Asli: The Wright 3
Penulis: Blue Balliett
Ilustrasi: Brett Helquist
Penerjemah: Edrijani
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, Maret 2007
Tebal: 365 hlm + xviii

Tidak diragukan lagi Blue Balliett adalah seorang pengagum seni. Setidaknya itu terbukti dari dua bukunya yang telah terbit di Indonesia. Setelah mengambil lukisan A Lady Writing karya Vermeer sebagai tema sentral di Chasing Vermeer, kali ini Blue Balliett mengambil sebuah rumah yang memiliki nilai historis di Chicago. Robie House begitu bangunan yang dirancang oleh Frank Lloyd Wright.

Walau di belakang buku Blue Barriett menyertakan gambar rumah tersebut dan Brett Helouist telah menggambarkan sketsanya, namun rasanya ada yang kurang. Perlu bantuan Wikipedia untuk menjawab semua rasa penasaran ini.

Mengagumkan. Begitu melihat gambar aslinya, nyaris tidak ada perbedaan sama sekali. Semua ilustrasi yang digambarkan Brett Helouist sangat detail. Dari gambar depan sampai kaca jendela. Melihat beberapa bagian rumah yang pembangunanya selesai bulan januari 1911 itu memang terlihat unik. Sayang, hanya bagian luar saja yang diperlihatkan. Padahal di dalam buku juga digambarkan beberapa hal yang menarik.

Dari sumber yang sama, terdapat sejarah yang panjang tentang pada penghuni Robie House dan gaya arsitekturnya.sayangnya tak dapat saya pahami.

Jadi ada apa dengan Robie House di petualangan Calder dan Petra?
Ternyata saat itu diputuskan oleh pemerintahan Chicago untuk membongkar Robie House. Yang nantinya akan dibagi menjadi beberapa bagian dan ditempatkan di beberapa Museum. Ada apa dengan pemerintah? Tidakkah mereka menghargai karya seni. Ternyata semua itu berawal dari banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk merawat bangunan tersebut.

Tentu saja banyak pihak yang tidak menyetujui keputusan tersebut. termasuk diantaranya Miss Hussey, guru kelas mereka. beberapa rencana disusun untuk menggagalkan usaha pembongkaran. Sebuah aksi besar yang melibatkan Cadler, Petra serta teman – teman sekelas pun dilaksanakan.

Anehnya, sejak diumumkannya keputusan pemerintah setempat, kejadian demi kejadian aneh terjadi di Robie House. Desas-desus terbentuk dengan cepat. Bahkan terdengar selintingan tentang keberadaan sosok gaib yang menghantui Robie House.

Calder dan Petra kembali beraksi. Tim mereka ditambah lagi dengan Tommy, sahabat lama Calder. Sayangnya ada konflik internal yang terjadi. sehingga konsentrasi mereka terpecah. Tak hanya harus memikirkan Robie House namun hubungan persahabatan diantara ketiganya yang juga berada diujung tanduk.

Seperti di Chasing Vermeer, kata kebetulan, pentomino, buku bekas, sandi rahasia masih menjadi bagian buku ini.

Pentomino kini hadir dalam bentuk tiga dimensi. Walau telah melihatnya beberapa kali, tetap saja saya tidak dapat benar-benar menghapal polanya. Mungkin butuh ketekunan seperti Calder.

Kehadirnya Tommy juga memberi sesuatu yang baru. Beberapa hal saya pelajari dari tokoh yang satu ini. Sifatnya membuat saya teringat dengan kata perubahan. Sesuatu yang mutlak terjadi dalam kehidupan. Siap atau tidak.

Hanya bagian Petra saja yang tidak menimbulkan kesan apa-apa. Bahkan terasa membosankan.

Dari bagian ilustrator sendiri, kembali memberi tantangan bagi para pembaca untuk memerhatikan dengan teliti semua ilustrasi yang dibuatnya. kali ini untuk sangat mudah untuk mendapatkan jawabannya. Lain halnya dengan tantangan yang pertama. Sampai terakhir kali, saya tidak mendapatkan kode apapun.

Kode lain yang dibuat oleh ketiga anak –anak itu juga tidak kalah menarik. Saya butuh beberapa lama untuk memecahkannya. Rasanya akan menjadi cara yang bagus untuk memnyembunyikan rahasia di journal harian.

Jika membandingkan dengan Chasing Veermer saya cenderung lebih menyukai buku ini. Buku pertama terasa sangat berat. Dari wikipedia, buku ketiga yang berjudul The Calder Game telah diterbitkan pada bulan April lalu. Semoga pihak Qanita tidak akan melewatkan serial berikutnya.

Vienna Blood


Vienna Blood
Penulis: Frank Tallis
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Penerbit: Qanita
Cetakan: I, Juli 2007
Tebal: 592

Setelah A Death In Vienna, serial yang ditulis Frank Tallis kembali lagi dengan Vienna Blood. Judul yang memiliki bau yang “sama”. Sehingga dapat dipastikan, seperti sebelumnya, di buku ini juga terdapat beberapa kejadian yang menelan korban dan bersama sahabatnya, Inspektur Detektif Oskar Rheinhardt, sang dokter dengan psikoanalisisnya kembali beraksi memecahkan misteri.

Insiden berdarah dibuka dengan ditemukannya anakonda yang tidak bernyawa di Tiergarten. Yang mengerikan, binatang dengan ukuran raksasa itu terpotong menjadi beberapa bagian. Tak ada barang bukti yang terdapat disekitar lokasi kejadian. Sang pawang juga tak dapat memberikan keterangan lebih lanjut karena ia dipukul oleh sang pelaku hingga kehilangan ingatan.

Belum juga berhasil mendapatkan motif maupun tersangka dari insiden di kebun binatang, kejadian yang menelan korban kembali terjadi. Tak hanya satu namun empat sekaligus. Semua daerah kejadian disisir tanpa sisa oleh Inspektur Rheinhardt beserta asistennya. Beberapa nama masuk dalam catatannya.

Tak dinyana, saat sibuk dengan interogasi yang dilakukannya, korban- korban lain kembali berjatuhan. Geram, tentu saja. Karena tak hanya dibuat pusing oleh tingkah sang pelaku. Inspektur Rheinhardt juga harus berhadapan dengan tuntutan atasan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut, seakan tak mengerti kesulitan yang dihadapinya

Tentu saja bantuan Maxim Liebermann sangat berarti, walau tetap tak yakin pada beberapa teori yang diungkap oleh sahabatnya. Seperti kasus sebelumnya, Miss Lydgate, wanita kenalan Liebermann kembali dilibatkan. Berpacu dengan waktu, ketiganya berusaha keras untuk mengumpulakn bukti – bukti sebelum lebih banyak korban yang berjatuhan. Butuh beberapa lama untuk menyadari bahwa ada satu hal yang menghubungkan semua rentetan pembunuhan yang terjadi.

Kisah kali ini sungguh menarik. tak hanya dari kasus yang ditangani oleh sang inspektur. Bahkan kehidupan pribadi Maxin Liebermann pun rasanya sayang untuk dilewatkan. Sayangnya ketika buku ini sampai ada halaman terakhir, kisah Lieberman masih sedikit menggantung. Semoga saja dibuku berikutnya semua rasa penasaran ini bisa terjawab.

Beberapa pertanyaan berkisar pakaian transportasi, hingga konser-konser musik semua terjawab di buku ini. Walau beberapa hal masih harus mengandalkan Wikipedia. Terlebih untuk mengerti keadaan kota Vienna beserta gedung – gedung yang digunakan Frank Tallis sebagai setting. Rasanya menyenangkan melihat tmpilah depan gedung – gedung yang dikunjungi Lieberman, terlebih ketika akhirnya isa melihat makanan yang digambarkan sangat lezat oleh Inspektur Rheinhardt

Yang tak kalah mengejutkan adalah Liebermann hidup dimasa yang sama dengan salah satu tokoh besar dalam sejarah dunia. Beberapa teori yang diungkapkan dalam buku ini sedikit membuat bingung. Namun setidaknya bagaimana prinsip dasar psikoanalisis dengan jelas tergambar dalam buku ini.

Sedikit membuat saya kewalahan adalah nama- nama tokoh – tokoh tambahan yang membingungkan. Mungkin dikarenakan penggabungan huruf – huruf itu bukan hal yang lazim digunakan. Butuh waktu lama bagi saya untuk dapat membedakan satu toko dengan tokoh lainnya.

Musik juga mengambil bagian besar dalam buku ini, baik dari piano yang dimainkan Liebermann ataupun dalam konser juga tak dapat saya nikmati. Saya menyukai lagu klasik namun tidak sampai membuat saya hapal luar dalam. Apalagi jumlah mereka ribuan.

Namun diluar dari kekurangan-kekurangan itu, buku ini layak dibaca bagi pencinta novel detektif. Semoga buku berikutnya dapat segera diterbitkan.

#SS2014: The Riddle

Here we go again~ Setelah dua tahun berturut-turut dapat buku terjemahan, tahun ini aku dapat buku dari penulis Indonesia. Ud...