‘Where are you going to go?’ tanyanya sambil meletakkan secangkir teh hangat di meja saya.
‘Going home.’ Saya menjawab singkat sambil mengamati landasan pacu yang tampak jelas dari balik dinding-dinding kaca restoran ini.
‘Going home?’ Ia berkerut. ‘You do not look like someone who will be going home.’
Kalimat inilah yang membuat saya mengalihkan perhatian dari bulir-bulir hujan yang menggurat kaca. ‘Sorry. What do you mean?’
…
(Satu Malam di O’Hare)
***
Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. Mereka-mereka yang memberikan ‘rumah’ itu untuk kita, apa pun bentuknya.
Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita sendiri: sebuah rumah yang sesungguhnya. Yang membuat kita tak akan merasa asing meski berada di tempat asing sekalipun…
… because travelers never think that they are foreigners. (Goodreads)
~~~
Kalau melihat deretan buku koleksi yang ada, akan sangat sulit menemukan buku yang bercerita tentang perjalanan. Ada beberapa alasan mengapa buku semacam itu tidak mendapat banyak perhatian. Saat berada di toko buku pun, saya menempatkan buku serupa di urutan paling bawah untuk dibawa pulang dan dijadikan penghuni rak. Semua tidak lain dikarenakan rasa iri yang kerap timbul setelah melahap lembaran-lembaran berisi cerita perjalanan sang penulis. Tidak hanya dari perjalanan ke negara dengan tempat-tempat yang mengagumkan, namun juga pengalaman yang tidak ternilai harganya. Yang terakhir, saya kerap dibuat bosan setelah membaca beberapa bab terutama ketika menemukan gaya cerita yang monoton. Pikiran yang sama sempat terbersit ketika menemukan Life Traveler di meja kerja. Namun kali ini saya salah, karena buku yang ditulis Windy Ariestanty ini bukan rangkuman cerita perjalanan biasa. Berawal dari Vietnam sampai Chicago, banyak di antaranya yang meninggalkan kesan yang mendalam. Tidak hanya bagi sang penulis, namun saya sebagai pembaca. Bahkan ketika belum menapakkan kaki ke tempat-tempat tersebut ataupun bertemu langsung dengan orang-orang yang disebutkannya.
Windy awalnya memang menceritakan hal-hal yang kerap saya temukan di buku-buku lain. Seperti penjelasan tempat-tempat yang menarik dan wajib dikunjungi ketika berada di satu negara. Dilengkapi dengan penjelesan singkat mengenai transportasi yang bisa digunakan. Tak lupa list to do and don't. Untung saja itu hanya ada di beberapa bagian awal. Ketika saya nyaris menutup buku ini, meletakkannya di meja dan mengganti dengan buku lain, Windy ternyata telah menyiapkan cerita yang kembali menarik perhatian.
Dan beberapa bab yang berkesan dan menjadi bagian yang saya sukai adalah cerita saat Windy berada di Hanoi. Tidak ketinggalan cerita di beberapa tempat di Eropa. Sebut saja Frankfrut, Praha ataupun perjalanannya menuju Paris. Yang istimewa dari bab-bab itu bukan hanya cerita tentang tempat yang dikunjungi namun lebih kepada cerita orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebagai contoh, cerita yang melibatkan Miss Hang, Pak Mula, Pietr, Mirek ataupun Marjolein sang guide. Satu Malam di O'Hare pun menjadi salah satu bab yang meninggalkan kesan yang dalam. Tidak salah jika dipilih sebagai cerita penutup. Saya sangat menyukai percakapan singkat yang dituliskan di dalamnya.
Sebuah buku berisi tentang perjalanan tentunya tidak akan lengkap tanpa gambar. Life Traveler pun tidak ketinggalan. Terdapat banyak gambar yang cukup memuaskan mata. Namun satu hal yang saya sayangkan dari buku ini adalah banyaknya ilustrasi cat air yang digunakan untuk menggambarkan suatu tempat. Walau digambar sebaik mungkin, namun saya lebih memilih untuk melihat bagaimana penampakan aslinya. Ilustrasi menurut saya cukup diletakkan di halaman awal setiap bab. Tidak untuk menggantikan gambar-gambar yang seharusnya ditampilkan apa adanya.
Terlepas dari ilustrasi yang saya maksudkan, buku ini tetap istimewa.
4/5
Life Traveler
Penulis: Windy Ariestanty
Editor: Alit T. Palupi
Penerbit: Gagas Media
Cetakan: I, 2011
Tebal: 382 hal + x