Wednesday, 17 September 2008

Review: Konrad Si Anak Instan - Christine Nostlinger



Bertahun – tahun lamanya, Mrs. Bartolotti terbiasa hidup sendiri. Tidak ada lagi rasa sedih yang tersisa sejak kepergian Mr Bartolotti bertahun – tahun lalu. Karena kini Mrs Bartolotti punya banyak hal yang harus dikerjakan. Dari bisnis tenunan permadani, jadwal yang di tetapkan bersama Mr Egon, sang pemilik Apotek untuk saling mengunjungi di hari selasa dan sabtu, sampai kebiasaannya berbelanja dan memesan barang – barang.

Khusus yang terakhir memang menjadi hal yang tidak terpisahkan dari Mrs. Bartolotti. Semua itu bersumber dari kegemarannya pada kupon, formulir pesanan, penawaran gratis dan penawaran istimewa. Saking sukanya pada kesemua hal tersebut, ia bahkan tidak sadar sering memesan barang barang yang bahkan tidak dibutuhkannya. Bukan hanya sekali Mrs Bartolotti menyesal bahkan menangis ketika sadar bahwa ia tak memerlukan sejumlah kaus kaki katun pria berwarna kelabu, sembilan kincir doa dari Tibet dan sejumlah barang tak berguna lainnya. Namun keesokan harinya, ia kembali berkutat dengan kebiasaanya mengisi kupon dan formulir baru.

Suatu hari seorang tukang pos datang ke rumahnya mengantar sebuah paket yang sangat besar. Paket tersebut berbentuk kaleng dan isinya sangat berat. Rasa penasaran segera menyelimutinya. Ia berusaha untuk mengingat-ingat, kapan terakhir kali memesan Sayangnya Mrs. Bartolotti tak bisa ingat lagi.

Sambil menerka – nerka isi kaleng, Mrs. Bartolotti akhirnya memutuskan untuk membuka tutup kaleng. Begitu melihat isinya,. ia langsung jatuh terduduk, saking kagetnya. Dari dalam kaleng, muncul seorang anak laki – laki. Dari surat keterangan yang disertakan bersama kaleng, anak laki – laki itu bernama Konrad dan berumur tujuh tahun. ia adalah anak instan buatan suatu pabrik.

Tak butuh waktu lama bagi Mrs. Bartolotti untuk menyukai Konrad si Anak Instan. Karena sikap dan tingkah Konrad sangat sopan, manis, menyenangkan dan tentu saja sangat pintar untuk anak – anak seusianya. Seluruh kebutuhan Konrad segera dipenuhinya. Pakaian, mainan bahkan tak lupa ia mendaftarkan Konrad ke sekolah.
Konrad merasa sangat beruntung. Hingga tak heran kalau ia juga sangat menyayangi wanita yang dipanggilnya Ibu.

Sayangnya kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Karena tiba-tiba tukang pos kembali mengetuk rumah mereka dan memberikan sepucuk surat. Surat yang memberitahukan bahwa Konrad ternyata bukan ditujukan untuk Mrs Bartolotti. Pabrik ternyata telah melakukan kesalahan. Mereka bermaksud untuk mengambil Konrad kembali dan mengirimkan ke orang tua sesungguhnya. Tentu saja hal ini membuat Mrs Bartolotti dan Konrad menjadi gelisah. Sehingga tak ada cara lain kecuali menyusun suatu rencana rahasia.

Kalau Konrad benar- benar ada di dunia nyata, tentunya pabrik tersebut telah mendulang keuntungan berlipat ganda. Karena tidak hanya memberikan solusi bagi mereka yang tidak dapat memiliki keturunan tapi juga dapat menghibur single parent seperti Mrs. Bartolotti. Apalagi sikap anak – anak seperti Konrad adalah harapan semua orang tua.

Namun rasanya akan membosankan kalau semua anak di dunia seperti Konrad. Tidak akan ada lagi intrik yang sebenarnya menjadi penghias dunia. Untung saja semua itu hanya terjadi di buku. Dunia nyata memang memerlukan keseimbangan .

Konrad adalah buku dengan cerita ringan yang cukup menghibur. Karakter – karakter di dalam bukunya juga unik dan menyenangkan. Tak jarang saya tersenyum simpul di setiap babnya. Ilustrasi dalam buku ini tentu juga menjadi bagian yang memberikan nilai lebih.

Sayangnya ini hanyalah satu – satunya buku Christine Nöstlinger yang diterbitkan di Indonesia. 

Konrad Si Anak Instan
Judul Asli: Konrad
Penulis: Christine Nöstlinger
Penerjemah: Agus Setiadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Agustus 2003
Tebal: 168 hlm

Friday, 12 September 2008

Review: The Lovely Bones - Alice Sebold


The Lovely Bones
Judul Indonesia: Tulang – Tulang Yang Cantik
Penulis: Alice Sebold
Penerjemah: Gita Yuliani K.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, April 2008
Tebal: 440 hlm

Kehidupan setelah kematian adalah satu dari banyak hal yang masih terselubung misteri. Beberapa pendapat mengenai hal ini juga beragam. Semua berangkat dari pemahaman masing – masing. Setiap orang mengambil salah satu pemahaman tersebut dan menjadikannya sebagai keyakinan. Setidaknya dengan begitu mereka tak perlu bersusah paya untuk mereka- reka dunia yang nyaris tak tersentuh.

Alice Sebold adalah satu dari banyak orang yang saya yakin juga turut memikirkan dunia penuh misteri tersebut. Semua terlihat melalui novelnya The Lovely Bones.

Susie Salmon, dipilihnya menjadi tokoh utama yang sekaligus mengantar sang pembaca menulusuri dunia sesudah kematian. Melalui Susie, pembaca bisa tahu sedikit bagaimana dunia setelah seseorang meninggalkan raganya. Bagaimana interaksi setiap ruh di dalamnya. Namun jangan berharap akan mendapatkan detailnya. Apalagi jika ingin mengetahui tentang keberaaan surga dan neraka. Karena Susie lebih banyak menfokuskan pikiranya pada kehidupan dunia. Susie memang tak bisa mengalihkan pandangannya dari kehidupannya di Bumi.

Agak aneh memang. Namun siapa pun mungkin akan melakukan hal yang sama. Apalagi jika mengalamami hal buruk seperti Susi. Anak perempuan yang berumur empat belas tahun itu memang meninggal dengan cara menggenaskan. Ia tewas setelah diperkosa dan dibunuh dengan potongan tubuh yang beredar dimana- mana. Yang menyakitkan semua itu dilakukan oleh Mr Harvey, tetangganya sendiri.

Karena sore itu, saat bertemu Mr Harvey di ladang jagung, Susie sama sekali tidak menyimpan kecurigaan. Tak ada pertanda bahwa sore itu adalah saat – saat terakhir hidupnya.

Kematian itu tentunya tidak hanya meninggalkan luka yang dalam bagi Susie.
Karena ia terpaksa melupakan semua mimpi – mimpi yang tela dirajut sebelumnya.
Luka yang sama juga di alami seluruh anggota keluarganya. Semuanya begitu tiba – tiba. Yang paling menyakitkan adalah mengetahui fakta bahwa mereka tak dapat menenukan jasad Susie secara utuh dan melakukan pemakaman secara layak. Karena satu- satunya ditemukan adalah potongan siku lengan.

Tidak seperti di cerita – cerita pembunuhan lainnya, polisi ataupun detektif benar – benar dibuat lumpuh. Tak ada bukti kuat yang ditemukan untuk menunjuk satu tersangka yang bertanggung jawab atas kematian Susie. Bulan demi bulan berlalu tanpa hasil. Sehingga yang ada hanyalah rasa putus asa. Terlebih bagi keluarganya. Salah satunya adalah hubungan ayah dan ibu Susie mulai renggang. Rasa geram terhadap Mr Harvey semakin memuncak. Namun Susie tak dapat berbuat banyak. Ia hanya dapat mengamati kehidupan yang terus berjalan tanpa dirinya.

Sebenarnya tidak hanya Susie, saya sebagai pembaca juga merasa sangat geram. Tidak hanya pada sang pembunuh, tapi juga pada kinerja para detektif. Mengapa harus menunggu lama untuk mengungkapkan kasus seperti ini. Tidak jarang saya ingin menutup dan meletakkan buku ini karena kelambanan kerja mereka. Untungnya tak perlu menunggu sampai korban berikutnya jatuh.

Selain para detektif, saya juga sedikit geram dengan Abigail Salmon, ibu Susie. Dari wanita yang menyenangkan, ia berubah menjadi seseorang yang lemah dan dengan mudah menyerah pada keadaan. Bahkan ketika anggota keluarga lain sedang berjuang melawan rasa sakit.

Yang istimewa dari petualangan bersama Susie dari dunia tak tersentuh adalah dengan mudah mengamati setiap orang tanpa perlu khawatir ketahuan. Mengetahui pikiran mereka tentang diri kita. Dan melihat bagaimana pengaruh ketidakberadaan diri kita dalam kehidupan mereka. dengan begitu kita bisa mengetahui seberapa penting keberadaan kita bagi hidup seseorang.

Dari Wikipedia, film yang diadaptasi dari buku ini sedang dalam proses pengerjaan. Dan masih dari sumber yang sama, ternyata sang penulis, Alice Sebold menuliskan buku ini sebagai bagian dari pengalaman pahitnya di masa lalu

Review: The Boy Who Ate Stars - Kochka


The Boy Who Ate Stars

Judul Indonesia: Anak Lelaki yang Menelan Bintang – Bintang

Penulis: Kochka

Penerjemah: Rahmani Astuti

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: I, Agustus 2008

Tebal: 104 hlm


Pindah ke lingkungan baru bukanlah hal yang mudah. Tidak hanya harus mengatasi rasa kehilangan tapi juga harus mulai beradaptasi dengan orang – orang baru. Namun bagi Lucy, hal itu nampaknya bukan masalah besar. Begitu menempati apartemen mereka yang baru di bulan september, ia bertekad untuk mengenal semua tetangganya. Ia telah mempersiapkan rencana untuk mendatangi semua orang dari lantai atas sampai lantai paling.


Namun belum juga berhasil merampungkan misinya, Lucy tiba – tiba berubah pikiran. Semuanya dikarenakan seorang anak bernama Matthew. Seistimewa apakah anak laki – laki berusia empat tahun itu hingga sanggup membuat Lucy memutuskan untuk melupakan rencana hebatnya?


Dari luar Matthew hanyalah seorang anak laki-laki yang pucat dengan tubuhnya yang pendek serta rambut cokelat dan keriting. Bukannya mendapat sambutan yang hangat dipertemuan mereka yang pertama, Matthew malah membuat rambut Lucy acak – acakan. Namun semua itu ternyata tak membuat Lucy mengambil langkah menjauh. Sebaliknya di mata Lucy, Matthew terlihat sangat memukau. Seakan ada satu keistimewaan yang tidak pernah dimiliki orang sehingga membuat Lucy tak pernah bosan untuk mengunjungi apartemen yang tepat lantai di atas apartemen milik ayahnya. Bahkan sekalipun ia pun ia tahu apa yang sebenarnya menimpa anak laki-laki yang sangat menyukai prakiraan cuaca di TV ini, lucy selalu punya waktu untuknya.


Awalnya saya pesimis dengan buku ini. Tak hanya dari sampulnya bahkan ketebalan buku yang terlihat pun cukup tipis. Ada satu pertanyaan yang terlintas dibenak saya saat itu, Cerita apa yang hendak disampaikan dengan 104 halaman? Namun begitu masuk di beberapa halaman pertama, saya kagum. Tak butuh waktu lama untuk menyukai sosok Lucy. Dari kata – kata yang diucapkan, pikiran sampai tingkah lakunya. Ternyata untuk menyampaikan sebuah pesan tak selamanya harus menghabiskan ratusan lembar kertas.


Masih di bagian awal buku, saya teringat dengan kumpulan buku Torey Hayden. Sehingga untuk memahami sosok Matthew bukan hal yang rumit lagi. Di bagian buku ini juga langsung membuat saya kembali ke dunia The Little Prince. Karena nama rubah dan sang pangeran menjadi bagian di dalamnya. Buku yang terkenal di hampir seluruh penjuru itu memang menyimpan banyak pesan berharga. Salah satunya yang dimasukkan dalam kisah Lucy dan Matthew.

Tuesday, 9 September 2008

Review: Including Alice - Phyllis Reynolds Naylor


Akhirnya! Pernikahan Miss Summers dengan Dad akan segera dilangsungkan. Tentu saja bukan hanya mereka berdua saja yang merasakan kebahagiaan tersebut. Karena Alice juga turut merasakannya. Pesta pernikahan ini adalah sesuatu yang telah di tunggu – tunggu Alice sejak lama. Tidak hanya karena berhasil menjodohkan keduanya dan membuat Ayahnya memulai kehidupan baru lagi, namun lebih kepada kehadiran sosok ibu, yang selama ini tak pernah dimilikinya.

Perubahan demi perubahan pun terjadi menjelang pernikahan. Pertama adalah kepindahan Lester, abangnya, ke sebuah apartemen yang berjarak tiga kilometer dari rumah. Keputusan yang sedikit membuat Alice merasa kehilangan, walau Lester berjanji akan tetap mengunjungi mereka. Yang kedua tentu dan sedikit membuatnya terkejut adalah perubahan besar pada isi rumah mereka. Miss Summers mulai memindahkan barang-barang miliknya bahkan mengusulkan untuk merubah beberapa dekorasi rumah. Alice mulai merasakan sesuatu yang lain.

Perasaan aneh itu terus berlangsung ketika pernikahan berlangsung bahkan ketika keduanya kembali kdari bulan madu. Alice mulai merasa terasingkan. Bahkan ia merasa canggung karena kehadiran Miss Summers di rumah mereka. Sampai suatu hari Alice tak dapat lagi menyembunyikan semua yang dirasakannya.

Mengikuti perjalanan Alice kali ini cukup menyenangkan. Dari pernikahan sampai masalah yang dihadapinya di sekolah. Seperti buku yang lain, tidak sedikit yang membuat saya sedikit terpingkah dan ada beberapa hal yang bisa diambil jadi pelajaran. Walau begitu banyak sikap Alice kali ini sedikit mengecewakan. Padahal di buku sebelumnya, Simply Alice, Alice terlihat lebih dewasa menyikapi semua hal yang dihadapinya. Namun sekarang semua seakan lenyap di telan bumi. Menghilang begitu saja. Mungkin juga karena dipengaruhi rasa kalut menjelang pernikahan.

Satu hal yang juga sedikit mengganggu adalah banyaknya hal baru yang tiba – tiba muncul begitu saja. Seperti cerita tentang keluarga Miss Summers, kegiatan Alice, Pamela dan Elizabeth beberapa bulan lalu dan tentu saja keputusan Lester untuk keluar dari rumah mereka. Walau tak menggangu inti cerita namun tetap saja terasa seperti lubang – lubang kecil. Dari sang editor, ternyata sebelum buku ini ada satu buku dari serial Alice yang tidak diterjemahkan karena pengurusan ijin terbit yang sedikit bermasalah. Semoga ke depannya tidak akan terjadi lagi. Karena ini bukan yang pertama kalinya.


Including Alice
Judul Indonesia: Oh...Begini Rasanya Punya Mama
Penulis: Phyllis Reynolds Naylor
Penerjemah: Vina Damajanti
Editor: Primadonna Angela
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Agustus 2008
Tebal: 264 hal

#SS2014: The Riddle

Here we go again~ Setelah dua tahun berturut-turut dapat buku terjemahan, tahun ini aku dapat buku dari penulis Indonesia. Ud...