Monday, 29 December 2008

The Last Concubine


The Last Concubine
Penulis:Lesley Downer
Penerjemah: Yusliani Zendrato
Editor: Nadya Andwiani
Penerbit: Matahati
Cetakan: I, November 2008
Tebal: 658 hlm


Buku yang menceritakan sejarah Jepang selalu menarik perhatian saya. Kebanyakan dari lembaran – lembaran itu berisi kisah yang dituturkan melalui sudut pandang seorang pria. Bagaimana tingkah laku dan pola pikir seorang samurai menghadapi perselisihan kecil ataupun pertempuran besar seperti perang tidak lagi menjadi hal yang asing. Sehingga ketika tahu The Last Concubine berisi kisah yang diceritakan oleh seorang perempuan, tak perlu berpikir dua kali untuk segera melahapnya. Terlebih lagi ketika perempuan itu menjadi bagian dari kehidupan sang seorang shogun.

Memang bukan buku pertama yang memberitahu saya bagaimana kisah seorang wanita Jepang di masa lalu. Namun inilah buku yang membuka pintu istana sang shogun lebih lebar sehingga semua bisa melangkahkan kaki ke dalam lingkungan yang selama ini dibatasi tembok yang tebal. Bahkan merasakan apa yang dirasakan para penghuninya.

Sachi, begitulah nama perempuan yang beruntung itu. Melalui matanyalah, semua terungkap dengan jelas. Segala hal yang terjadi pada klan Tokugawa sebelum dan sesudah pemberontakan terjadi.

Tak sekalipun pernah terlintas dibenak Sachi, suatu hari ia akan menjalani kehidupan istana di Edo. Karena awalnya ia adalah seorang gadis desa yang dibesarkan oleh keluarga petani di lembah Kiso. Hidup bersama Jiroemon dan Otama, Ayah-ibunya, sudah lebih dari cukup. Ia tak punya waktu untuk merajut satupun mimpi untuk masuk ke lingkaran orang – orang terhormat itu. Tak hanya disibukkan bersama teman sepermainannya dengan hal – hal yang menyenangkan, namun juga karena sibuk membantu ayah-ibunya mengurusi penginapan yang selama ini selalu digunakan oleh para bangsawan saat menelusuri jalur Nakasendo, jalan yang menghubungkan Edo dan Kyoto.

Sehingga iring – iringan orang terhormat dengan ratusan pasukan pengiring tidak lagi menjadi hal asing bagi Sachi. Puluhan aturan dipahaminya dengan baik. Termasuik ritual berlutut dan menundukkan pandangan sedalam mungkin ,menghadap tanah, ketika rombongan itu melintas tak pernah sekalipun diabaikan.seperti yang lain, Sachi tak mau mengambil resiko kehilangan nyawa hanya karena melanggar aturan itu.

Namun semua aturan itu segera saja dilupakannya ketika yang melintas adalah iring –iringan Yang Mulia Putri Kazu. Rasa penasaran memang telah lama menggelitiknya sejak pertama kali mendengar berita bahwa mereka adik sang kaisar itu akan melewati jalan Nakasendo terlebih lagi beristirahat di penginapan ayahnya. Ia tak pernah meohat seorang putri pun seumur hidupnya. Dari hari ke hari menjelang kedatangan sang putri, rasa penasaran Sachi pun semakin besar. Terlebih karena cerita demi cerita tentang sang putri yang rasanya tidak berhenti dibicarakan orang-orang disekitarnya.

Sampai akhirnya iring – iringan besar itu datang. Sachi yang saat itu memakai kimono berwarna biru-nila telah mengambil tempat dan duduk membungkuk bersama yang lain. Awalnya Sachi melihat dari sudut matanya, joli demi joli indah yang membawa para perempuan terhormat terus berdatangan. Namun tak lama kemudian,Sachi benar –benar tak dapat menahan untuk tidak mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok sang putri. Mendadak tatapan seorang perempuan muda bertemu dengan tatapannya. Tak butuh waktu lama untuk membuat para perempuan lain menoleh ke arahnya. Suasana yang awalnya sunyi mendadak menjadi ribut. Sedetik kemudian bayang – bayang kematian membayangi pikiran Sachi karena satu pelanggaran yang fatal.

Namun suratan takdir berbicara lain. Alih- alih mendapat hukuman mati atas kelancangannya, Sachi mendapat kesempatan untuk melangkahkan kaki di kastel Edo. Sejak hari itu. Sachi belajar banyak hal, sebagai dayang-dayang pengiring putri Kazu, ia harus mengerti cara berjalan sampai berbicara layaknya perempuan terhormat, menulis puisi, membaca, seni bela diri dan tentunya beratus aturan istana.

Tak hanya itu, Sachi juga mempelajari ritme kehidupan di Istana Para Perempuan, yang seakan memiliki dunianya sendiri. Sachi tahu benar bagaimana persaingan antar satu dengan yang lain tak lagi dianggap sebagai hal yang aneh, bahkan jika satu pembunuhan terjadi sekali pun. Sehingga tak heran jika ia diingatkan untuk tetap waspada. Terlebih ketika akhirnya ia diangkat menjadi selir sang shogun. Sekali lagi perubahan besar terjadi pada hidup Sachi. Kini statusnya berganti menjadi Nyonya Rumah Samping. Para pelayan mengerumuninya dan siap untuk melakukan apapun yang diinginkannya. Kimono – kimono yang digunakannya kini jauh lebih indah dari sebelumnya. Ditambah lagi setiap bulannya, ia menerima ryo emas yang dapat digunakan untuk membiayai kehidupannya yang baru sebagai selir berikut fasilitas lain untuk keluarganya. Rasanya seumur hidup, tak ada yang lebih baik dari ini. terutama ketika ia mendapat perhatian khusus dari sang shogun.

Sayangnya kehidupan menyenangkan itu tak berlangsung lama. Semua berawal dari kejadian buruk yang menimpa sang shogun. Pemberontakan pecah. Keadaan menjadi sangat kacau. Pertumpahan darah tak terelakkan. Seakan tak ada tempat bagi siapa saja yang dicurigai sebagai pendukung shogun. Semua menjadi porak poranda. Bahkan di benteng pertahanan terakhir klan Tokugawa, tak terkecuali Istana Para Perempuan. Tak satu pun tempat yang aman bagi mereka sekarang dan satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah meninggalkan istana. Sachi tak punya pilihan lain. Karena ia juga tahu bahwa tak pernah ada jaminan bahwa kehidupan di luar akan lebih baik selama perang masih berkecamuk.

Perjalanan baru dimulai. Sekali lagi melalui mata Sachi, peristiwa demi peristiwa menjelang runtuhnya Kastel Edo terekam dengan jelas.

Tidak seperti buku – buku yang juga mengambil sejarah jepang di dalam lembarannya, buku ini memberikan kepuasan tersendiri. Setiap fakta yang ada di dalam buku ini memberikan jawaban – jawaban atas beberapa pertanyaan saya.Dari berakhirnya pemerintahan shogun yang erat kaitannya dengan Restorasi Meiji, dua kata yang sebelumnya tak pernah saya pahami, sampai bagaimana kekaisaran jepang mengambil alih kekuasaan. Yang tak kalah menarik, tentu saja fakta seputar kehidupan para wanita yang mengelilingi sang shogun. Ini benar – benar hal baru buat saya. Suatu kejutan begitu tahu bahwa nyaris semua yang dituliskan oleh sang penulis adalah sesuatu yang benar- benar terjadi di masa lalu. Tentunya bagi penggemar fiksi sejarah, buku ini tak boleh dilewatkan.

No comments:

#SS2014: The Riddle

Here we go again~ Setelah dua tahun berturut-turut dapat buku terjemahan, tahun ini aku dapat buku dari penulis Indonesia. Ud...