Thursday, 26 January 2012

Book Review: Alice-Miranda At School - Jacqueline Harvey





“Dadah, Mama. Tolong kuatkan hati Mama.” Ibunya menanggapi dengan isak tangis keras. “Selamat bermain golf, Papa. Kita bertemu di liburan akhir semester.” Ayahnya membuang ingus ke saputangannya.

Sebelum kedua orangtuanya sempat mengucapkan selamat tinggal, Alice-Miranda sudah berjingkrak-jingkrak menyusuri jalan setapak yang diapit pagar tanaman, menuju rumah barunya.

Akademi Winchesterfield-Downsfordvale, itulah rumah baru Alice-Miranda. Dan sejak kedatangan Alice-Miranda, tempat itu berubah drastis. Semua terasa lebih hidup dan menyenangkan. Namun, tidak semua orang senang dengan perubahan itu. Termasuk kepala sekolah, Miss Grim, dan kepala prefeknya, Alethea.

Gadis 7 tahun itu diberi berbagai tantangan seperti tes tulis semua pelajaran, lomba berlayar melawan Alethea dan kawan-kawannya, sampai harus berkemah di hutan sendirian selama beberapa hari. Akankah Alice-Miranda mampu melewati semua tantangan itu? Juga, bisakah dia membuat Miss Grim keluar menemui para muridnya setelah 10 tahun mengurung diri dalam kantor? (Goodreads)


~~~


Karakter yang diciptakan dengan banyak kelebihan hingga nyaris sempurna sering kali membuat dahi berkerut. Gambaran betapa istimewa dan beruntungnya mereka kerap kali membuat saya tidak dapat menikmati kisah yang tertuang dalam buku tersebut. Bukannya iri tapi lebih karena keberadaan mereka terlalu indah untuk menjadi kenyaatan. Bahkan di buku sekalipun. Namun pengecualian untuk Alice-Miranda At School. Buku yang bercerita tentang anak perempuan yang berusia tujuh tahun di Sekolah Akademi Winchesterfield-Downsfordvale Untuk Perempuan Muda Baik-Baik bisa saya lahap dengan mudah, tanpa sekali pun memutar mata karena kesempurnaan yang dimilikinya.

Namun kalau dipikir-pikir lagi, sempurna bukan kata yang tepat.Semua sikap dan kebiasaan Alice- Miranda cenderung masuk kekategori janggal untuk anak sesuainya. Lihat saja bagaimana keputusan Alice-Miranda untuk memulai kehidupannya di sekolah berasrama di usianya yang belum genap delapan tahun. Belum lagi sikap mandiri dan rasa optimis yang dimilikinya. Anak perempuan yang menghabiskan liburan bersama orang tuanya di banyak tempat terkenal ini tidak mengenal kata egois. Ia tak sekalipun merasa terganggu ketika mendapat reaksi yang tidak menyenangkan dari orang-orang yang baru dikenalnya ketika ia mencoba bersikap ramah. Alice-Miranda juga tidak sekalipun menyimpan dendam untuk semua perlakuan yang tidak pantas.

Berbicara masalah kecerdasan, jangan menganggapnya sepele. Di usinya yang baru tujuh seperempat tahun ,ia dengan mudah menglafalkan keenak nama istri Raja Henry VIII dan mengerjakan pembagian yang panjang dan rumit. Bahkan diceritakan ia paham Sejarah Romawi dan Mesir Kuno bahkan Perang Dunia Kedua sekalipun. Mengertikan mengapa saya menyebutnya sempurna? Namun seperti yang saya sebut sebelumnya, kesempurnaan anak perempuan yang tidak mengenal kata menyerah, tidak menjadi penghalang untuk menikmati kisah yang ditulis sangat ringan. Setidaknya konflik di buku ini masih membuat saya penasaran. Alice-Miranda sepertinya memang punya magnet, sehingga semua hal itu tidak menjadi masalah besar. Magnet itu juga yang mungkin menjadikan tokoh-tokoh lain menyukainya. Kecuali Miss Grimm dan Alethea tentunya.

Masih seputar karakter di buku ini,terkecuali Alice-Miranda, Jacqueline Harvey menciptakan katakter-karakter lain dengan sangat baik. Semua karakter punya ciri khas tersendiri yang membedakannya dengan yang lain. Sebut saja Miss Higgins sang Sekretaris sekolah, Jacinta-tukang ngamuk terhebat nomor dua sesekolah, Millie-teman sekamarnya Alice-Miranda, Mr Charles si tukang kebun, Mrs Oliver ataupun Mrs Smith yang menjadi juru masak. Alethea dan Miss Grimm yang menjadi tokoh antagonis pun masuk hitungan. Mereka berdua memainkan peran dengan sangat baik.

Beralih ke hal-hal yang sedikit menganggu sehingga buku ini hanya saya beri empat bintang. Pertama, pemilihan nama untuk Alice-Miranda. Mengapa harus menyandingkan dua nama dan menjadikannya panggilan untuk sang karakter utama? Mengapa tidak memilih satu nama saja? Memanggilnya dengan Alice menurut saya cukup. Kedua, mengenai tes menjelajahi alam bebas, yang selanjutnya disebut hutan, selama lima hari lamanya. Semua juga tahu hutan bukan tempat yang aman untuk anak-anak. Terlebih lagi tanpa pengawasan orang dewasa. Bahkan ketika kawasan hutan itu terletak disekitar asrama. Anehnya tidak ada protes dari ayah dan ibu Alice-Miranda yang dari awal terlihat sangat memanjakan anaknya.

Namun terlepas dari semua keanehan itu, saya memutuskan untuk tetap membaca kelanjutan seri Alice-Miranda. Saya juga merekomendasikan buku ini sebagai bacaan untuk anak-anak usia sekolah dasar ataupun pendidikan menengah. Alice-Miranda dicetak dengan font yang cukup besar rasanya cocok untuk pembaca pemula.

Cover dan Ilustrasi
Tidak ada perbedaan besar antara cover asli dan cover terbitan Little K. Alice-Miranda terlihat lucu di sampul depan. Untuk ilistrasi yang ada di dalam buku, menurut saya kurang banyak. Apalagi jika buku ini ditujukan sebagai bacaan Middle-Grade.


4/5

Alice-Miranda At School
Penulis: Jacqueline Harvey
Penerjemah: Reni Indardini
Editor: Herlina Sitorus
Penerbit: Little K
Cetakan: I, Juni 2011

Reading Challenge: Name in a Book Challenge

ang

No comments:

#SS2014: The Riddle

Here we go again~ Setelah dua tahun berturut-turut dapat buku terjemahan, tahun ini aku dapat buku dari penulis Indonesia. Ud...