A Series of Unfortunate Events: The Slippery Slope
Judul Indonesia: Lereng Licin
Penulis: Lemony Snicket
Penerjemah: Primadonna Angela
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, Agustus 2008
Tebal: 336 hlm
Setelah menghabiskan hari – hari yang tidak menyenangkan di Karnaval Karnivora, Lemony Snicket kembali dengan kisah anak – anak Baudelaire di Lereng Licin.
Siapapun yang sudah mengikuti catatan – catatan itu tahu bahwa cerita anak – anak Baudelaire memang menyedihkan. Namun tidak seperti catatan – catatan Lemony Snicket sebelumnya, di Lereng Licin, pembaca langsung dihadapkan dengan kenyataan yang tidak menyenangkan. Lihat saja Sunny, anak termuda Baudelaire, yang disandera oleh Count Olaf dan kawan – kawan. Semua juga bisa merasakan bagaimana putus asanya anak kecil itu, tidak hanya harus berpisah dengan kedua kakaknya, Violet dan Klaus, ia juga harus menahan rasa sakit dari cubitan dan cakaran pada bahunya yang tidak segan – segan diberikan oleh Esme, kekasih Olaf.
Begitu sampai tempat tujuan mereka, cubitan yang diterimanya hanyalah awal dari perlakuan kejam selanjutnya. Tanpa peduli bahwa udara sangat dingin, Count Olaf menyuruh Sunny untuk memasang tenda kemudian memasak makanan bagi mereka semua dan tentu saja tanpa bantuan dari siapapun. Apakah berhenti sampai di situ? Tentu saja tidak. Karena pembagian tempat tidur pun, Sunny hanya diberikan wadah kaserol di bagasi.
Di saat yang sama, nasib Violet dan Klaus tidak kalah mengerikan. Mereka berdua berada dalam karavan yang berjalan sangat cepat di Pegunungan Portmain yang tinggi. Nyawa mereka bisa melayang sewaktu – waktu. Karena karavan itu bergerak turun. Untung saja di dalam karavan ada bermacam – macam benda bahan makanan yang bisa dimanfaatkan untuk menghentikan laju. Semua tentu saja semua itu tidak lain karena kepiawaian mereka berdua. Hammock dan adonan lengket menjadi pilihan mereka berdua. Kedua benda itu berhasil membuat karavan berhenti.
Keluar dari karavan, Violet dan Klaus hanya dibiarkan bernafas lega dalam waktu yang sangat singkat. Karena mereka kini harus berhadapan dengan hembusan angin dingin yang nyaris membekukan tubuh mereka. Karavan bahkan tidak dapat lagi digunakan untuk menyusul Sunny, karena secara tiba-tiba karavan itu meluncur kebawah dan menghilang dalam keheningan. Seakan ingin menambah daftar kemalangan anak – anak baudelaire, serangga salju ikut menyerang mereka dari segala arah. Tak tanggung – tanggung, wajah Violet dan Klaus menjadi sasaran empuk binatang – binatang kecil itu. Walau kecil, namun sengatan mereka meninggalkan rasa yang benar – benar sakit. Dari buku yang dibacanya, Klaus tahu bahwa api dapat mengusir serangga salju. Sayangnya Violet dan Klaus tidak punya apa – apa lagi untuk mengusir kerumunan itu. Meninggalkan tempat mereka berdiri menjadi satu- satunya pilihan.
Sesaat kemudian keduanya melihat sebuah gua. Di dalam sana mereka bisa selamat dari udara dingin dan sengatan yang menyakitkan. Namun resiko lain yang harus mereka hadapai adalah binatang yang berhibernasi. Violet dan Klaus tahu, lagi – lagi mereka hanya dihadapkan pada satu pilihan. Mereka mencoba peruntungan mereka dengan mencoba masuk lebih dalam ke gua yang muramPertama – pertama yang mereka mendapati api dan suara yang tidak asing lagi, yang meneriakan kata “malingkue”
Suara lain itu tidak lain adalah Carmelita Spats, anak perempuan kejam yang mereka temui di Sekolah Menengah Prufrock. Kini ia tergabung di Pramuka Pesalju yang dalam perjalanan merayakan Musim semi Salju bersama anak – anak lain. seperti biasa Carmelita tak pernah menyukai orang asing. Segera saja ia mengusir keduanya. Kalau saja tak dicegah oleh paman Bruce, satu – satunya pria dewasa di tempat itu, Violet dan Klaus pastinya harus berhadapan lagi dengan kumpulan serangga salju. Keadaan gua yang gelap dan mantel juga menyelamatkan mereka. Carmelita tidak mengenali mereka berdua. Untuk sementara mereka selamat. Setidaknya kali ini.
Cerita demi cerita pun mengalir setelah paman Bruce membiarkan mereka bergabung dengan Pramuka Pesalju. Tak disangka, kejutan berikutnya akan datang secepat itu. Kalau tadi mereka dikejutkan dengan kata “malingkue”, kini seseorang dari anak –anak pramuka itu menyebutkan kata “Penyelidik Kucing Sukarelawan”. Tiga kata yang mengandung tiga inisial yang selama ini mereka cari. PKS. Sayangnya Baik Violet maupun Klaus tidak dapat mendekati anak tersebut karena mereka harus mengikuti ritual Waktu Bercerita Pramuka Pesalju yang sangat membosankan
Kejutan demi kejutan ternyata telah menunggu mereka. Anak pramuka misterius itu ternyata menghampiri mereka ketika yang lain telah terlelap. Begitu banyak pertanyaan yang hendak dilontarkan Violet dan Klaus. Karena tak hanya mengucakan kata dengan inisial PKS di dalamnya, namun anak pramuka misterius ini juga ternyata mengetahui Paman Montgomery, yang tidak lain adalah salah satu wali pertama anak – anak Baudelaire. bahkan ia tahu jalan keluar dari gua menuju Padang Keempat Sumberangin melalui Pengalih Kebakaran Sementara. Walau tahu bahwa tidak Violet dan Klaus tidak boleh dengan percaya pada orang yang baru dikenalnya. Namun ini adalah pilihan yang lebih baik daripada harus mencari jalan keluar sendiri. Lagipula meraka tak mungkin menunggu berlama – lama di dalam gua, sementara adik mereka berada dalam cengkaraman orang sekeji Count Olaf. Sambil berharap rahasia yang menyelubungi PKS satu demi satu dapat mereka ketahui.
Entah berapa lama waktu yang digunakan Violet, Klaus serta anak pramuka misterius untuk sampai ke Padang Keempat Sumberangin. Tak ada keterangan dalam catatan Lemony Snicket mengenai itu. Perjalanan yang panjang dan pastinya melelahkan. Tak jauh beda dengan perjalanan seperti dibuku – buku yang lain. Sehingga tak heran jika diluar sana pun banyak orang yang berhenti mengikuti kisah mereka ini. tak perlu heran sebenarnya. Karena seperti diakhir setiap catatan yang lain, Violet, Klaus dan Sunny di Lereng Licin tidak juga berakhir dengan hal yang menyenangkan. Namun bagi saya, justru disitulah istimewanya buku ini. pilihan kata yang tidak biasa oleh Lemony Snicket, yang telah mendedikasikan untuk menyelidiki kisah sedih anak – anak Baudelaire ini, juga menjadi hal mengapa saya tidak pernah bosan.
No comments:
Post a Comment