Tuesday 31 May 2011

Review: Wuthering Heights - Emily Brontë



Wuthering Height, buku yang ditulis oleh Emily Brontë dan diterbitkan untuk pertama kalinya tahun 1847 ini sempat membuat saya penasaran. Tidak hanya disebut-sebut di tiga buku berbeda yang telah saya baca sebelumnya ( Daddy Long Legs, Twilight series, Evermore), kisah tentang Catherine dan Heathcliff ini juga ternyata ada di Topeng Kaca, manga karya Suzue Miuchi. Tidak seperti di tiga buku yang hanya menyebutkan Wuthering Height sepintas lalu, di Topeng Kaca saya mendapatkan sedikit gambaran bagaimana kisah buku ini dimulai. Sayangnya di sana hanya memberikan penggalan kisah Heathcliff dan Catherine di masa kanak-kanak. Jadi saya tidak pernah mengetahui bagaimana kelanjutannya. Beruntung beberapa bulan kemudian versi novel pun diterbitkan. Dari buku ini lah saya akhirnya tahu bagaimana kelanjutan cerita klasik yang membuat perasaan saya bercampur aduk saat membacanya.

Kisah Wuthering Heights awalnya dinarasikan dari Ellen Dean (Nelly) yang bekerja sebagai pengurus rumah keluarga Earnshaw dan Linton. Cerita kemudian dilanjutkan oleh Mr Lockwood berdasarkan penuturan Nelly.

Semua kisah berawal dari kedatangan Heathcliff di tengah-tengah keluarga Earnshaw. Mr Earnshaw memutuskan untuk membawa anak laki-laki yang identitas tak jelas itu untuk tinggal bersama. Kehadiran Heathcliff yang mendadak tentu tidak mendapat sambutan yang hangat dari anggota keluarga yang lain. Walaupun akhirnya oleh Catherine Earnshaw memutuskan untuk menerima Heathcliff, namun tidak demikian dengan Hidley Earnshaw. Kebencian anak laki-laki keluarga Earnshaw seakan tak pernah padam sejak pertama kali Heathcliff menginjakkan kaki di Wuthering Heights. Bertahun – tahun Heathcliff mendapat perlakuan yang kasar. Dan semua itu semakin menjadi ketika Hidley menjadi kepala keluarga Earnshaw. Keberadaan Catherine di sisinya lah yang mampu membuat Heathcliff bertahan. Sayang suatu hari Heathcliff memutuskan untuk meninggalkan Wuthering Heights. Semua itu dikarenakan Catherine, wanita yang dicintainya sejak kecil, memilih untuk menikah dengan Edgar Linton. Bertahun-tahun yang mereka lalui bersama seakan tak berarti apa-apa. Heathcliff yang sangat terluka akhirnya memutuskan pergi.

Tiga tahun kemudian, dendam dan cinta yang tersisa membawa Heathcliff kembali ke Wuthering Heights. Tiga tahun ternyata cukup untuk mengubah peruntungan Heathcliff. Ia berubah menjadi pria kaya. Sayangnya bukanlah waktu yang cukup untuk menghapus lukanya di masa lalu. Namun waktu sesingkat itu, Heathcliff berubah menjadi pribadi yang kejam dan tanpa belas kasih. Segala macam cara ditempuh hanya untuk membalas sakit hatinya.Hanya dalam waktu singkat, dengan keculasannya, Heathcliff berhasil membalikan keadaan. Seakan tak pernah puas, hal itu terus ia lakukan terhadap generasi-generasi selanjutnya.

Wuthering heights adalah buku yang benar-benar menguras emosi. Sering kali saya menjadi marah hanya karena membaca setiap kalimat yang diucapkan oleh para tokoh. Tidak jarang saya ingin membungkam Heathcliff, Catherine ataupun para pelayan di Wuthering Heights karena kata-kata mereka yang tajam dan tidak sopan. Amarah saya juga tersulut melihat semua perlakuan tidak pantas yang diterima oleh Mr Linton ataupun Isabelle dan tokoh-tokoh lain. Hal ini juga yang membuat saya kadang berpikir untuk berhenti membaca buku setebal 487 halaman ini. Namun tingkah laku mereka pula yang membuat saya akhirnya mengambil buku kembali. Cerita gelap yang penuh kebencian ini sungguh membuat saya penasaran.

Tokoh favorit saya jelas bukan Heathcliff ataupun Catherine. Walau awalnya saya sempat menikmati kisah masa kecil mereka. Sosok Catherine Earnshaw kecil juga sangat menyenangkan. Tidak jarang saya dibuat tersenyum karena tingkah lakunya. Namun begitu beranjak dewasa dan mulai mengenal perasaan satu sama lain, baik Heathcliff maupun Catherine berubah menjadi tokoh yang tidak mengundang simpati sama sekali. Lihat saja bagaimana keegoisan Catherine ketika dihadapkan dengan lamaran Mr Linton. Saya tidak heran jika akhirnya Heathcliff memutuskan untuk pergi dan akhirnya kembali dengan membawa tumpukan luka dan sebersit dendam yang ternyata bertahan bertahun-tahun. Bahkan kisah cinta yang terjalin antara mereka berdua pun tidak dapat saya rasakan. Pertemuan-pertemuan yang kerap mereka lakukan bahkan saya anggap sebagai pengkhianatan terhadap Mr Linton.

Tokoh yang juga membuat saya kesal adalah Joseph. Berkali-kali saya mengharapkan, akan ada perubahan pada karakter ini. Sayangnya hingga di akhir buku, harapan saya tidak juga terwujud. Bahkan tingkahnya semakin mengesalkan. Kata-kata kasar tak ada henti-hentinya terucap dari pria yang nampaknya tak pernah tersenyum ini. Buku yang kerap dibacanya setiap minggu ternyata tidak mampu menjadikannya sebagai pribadi yang menyenangkan.

Untungnya tiga karakter itu tidak lantas membuat saya melupakan Nelly, Mr Linton dan Cathy. Masih ada bagian yang membuat emosi negatif akhirnya mereda. Terutama ketika membaca bab-bab yang menceritakan bagaimana perhatian dan kasih sayang Edgar Linton pada anak perempuannya. Pertumbuhan Cathy Linton dari kecil hingga menjelang remaja juga menarik untuk disimak. Dan yang menjadi bab favorit saya adalah ketika buku ini mulai bercerita tentang hubungan Cathy dan Hareton, yang juga menjadi akhir dari buku ini. Saya sungguh tak menyangka, Emily Bronte akan menulis akhir yang indah untuk Wuthering Heights yang kelam. Setelah melewati tahun – tahun yang suram, mereka yang tersisa memang pantas mendapatkannya.

Satu hal yang juga menarik perhatian adalah penamaan kediaman keluarga Earnshaw dan Linton. Saya jadi bertanya-tanya apakah setiap rumah di masa itu memang memiliki julukan seperti halnya Wuthering Heights ataupun Thrushcross Grange.

Cover
Saya suka pilihan warnanya. Gelapnya cerita di Wuthering Heights tergambar dengan jelas. Kalaupun ilustrasi yang mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan Heathcliff dan Catherine tak ada di cover depan, menurut saya tidak akan mengurangi kesan yang ditinggalkan.

4/5

Penulis: Emily Brontë
Penerjemah: Lulu Wijaya
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, April 2011
Tebal: 488 hlm
ISBN: 978-979-22-6278-9

No comments:

#SS2014: The Riddle

Here we go again~ Setelah dua tahun berturut-turut dapat buku terjemahan, tahun ini aku dapat buku dari penulis Indonesia. Ud...